BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah Teknis dan Pengertian Profetis
Profetis memiliki arti kenabian, berasal dari bahasa
Inggris Prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada
dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia
yang ideal tidak hanya secara
spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing
masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan
penindasan.[1]
Secara definitif, pendidikan
profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya
mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya
mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat
mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik.[2]
Sehingga disimpulkan bahwa,
pendidikan profetik (Prophetic Teaching) adalah suatu metode pendidikan
yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi Muhammad saw. Prinsip
dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan integrasi. Dalam memberikan
suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al
Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.
Adapun
tugas-tugas para Nabi adalah untuk menyeru pada kaumnya untuk hanya menyembah
Allah SWT, menyeru
kepada yang ma’ruf dan
mencegah kepada kemunkaran. Beberapa dalil yang menunjukkan tugas Nabi adalah:
ôs)s9ur $uZ÷Wyèt/ Îû Èe@à2 7p¨Bé& »wqߧ Âcr& (#rßç6ôã$# ©!$# (#qç7Ï^tGô_$#ur |Nqäó»©Ü9$# ( Nßg÷YÏJsù ô`¨B yyd ª!$# Nßg÷YÏBur ïƨB ôM¤)ym Ïmøn=tã ä's#»n=Ò9$# 4 (#rçÅ¡sù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. c%x. èpt7É)»tã úüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÌÏÈ
Dan sungguhnya
kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul). (QS An-Nahl
36).
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS
Al-Imron 110)
B. Konsep Pendidikan Islam
Secara umum pengertian pendidikan Islam
juga belum memiliki rumusan
yang disepakati oleh seluruh ahli pendidikan Islam. Dalam Konferensi
Internasional Pendidikan Islam pertama (First World Conference on Muslim
Education) yang diselenggarakan oleh King Abdul Aziz University Jeddah pada
tahun 1977, belum berhasil merumuskan definisi yang jelas dan disepakati
tentang pengertian pendidikan menurut ajaran Islam. Pada bagian rekomendasi,
para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian atau definisi pendidikan
menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim,
tarbiyah, dan ta’dib.[3]
Menurut Naquib al-Attas, sebagaimana yang dikutib oleh Abdul Aziz,
istilah ta’dib merupakan istilah yang paling tepat digunakan untuk
menggambarkan ilmu pendidikan. Istilah tarbiyah menurut pendapatnya
dianggap terlalu keras. Karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga
pendidikan untuk hewan. Istilah ta’dib menurut penjelasannya
berasal dari kata kerja adabun yang berarti pengenalan dan pengakuan
tentang hakekat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkhis
sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat mereka. Demikian juga tentang
kedudukan seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakekat itu serta
dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang.[4]
Berdasarkan pengetahuan ini, al-Attas mendefinisikan pendidikan
menurut Islam sebagai pengenalan dan pengetahuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala
sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan
dan pengakuan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.
Pengertian singkat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan menurut Islam adalah
usaha agar manusia mengenali kedudukan Tuhan dalam kehidupan ini.[5]
Sedangkan pendidikan Islam yang didefinisikan Ridha dalam kutipan
Abdul Aziz, adalah al-ta’lim yang merupakan proses transmisi berbagai
ilmu pengetahuan dalam jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu. Transmisi ilmu pengetahuan itu dilakukan secara bertahap sebagaimana
Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis nama-nama segala sesuatu yang diajarkan
oleh Allah kepadanya.[6]
Selain Ridha yang juga mengatakan bahwa pendidikan Islam itu
identik dengan al-ta’lim adalah Abdul al-Fata Jalal. Menurutnya, dalam
kutipan Abdul Aziz, al-ta’lim memiliki makna doktrinasi pengetahuan,
pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah. Sehingga terjadi tazkiyah
al—nafs (penyucian diri atau pembersihan diri) dari manusia dari segala kotoran
dan menjadikan diri manusia itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk
menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan
yang tak diketahuinya.[7]
Dari uraian pendidikan di atas, maka pendidikan Islam adalah proses
bimbingan dari seseorang kepada orang lain agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta
pengembangan pemahaman kedua sumber tersebut berdasarkan kepada pemikiran (ra’yu)
dan ijtihad.[8]
Adapun salah satu dari ayat-ayat yang menunjukkan tentang
pendidikan Islam adalah QS Al-Baqarah ayat 151:
!$yJx. $uZù=yör& öNà6Ïù Zwqßu öNà6ZÏiB (#qè=÷Gt öNä3øn=tæ $oYÏG»t#uä öNà6Ïj.tãur ãNà6ßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat
kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
(QS Al-Baqarah: 151).
Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya,:
9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù't ãNä3Î/ ª!$# $·èÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÍÑÈ ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNà6ydqã_ãr ¼çntôÜx© xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Y=Ï9 öNä3øn=tæ îp¤fãm wÎ) úïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNåk÷]ÏB xsù öNèdöqt±ørB ÎTöqt±÷z$#ur §NÏ?T{ur ÓÉLyJ÷èÏR ö/ä3øn=tæ öNä3¯=yès9ur tbrßtGöhs? ÇÊÎÉÈ
Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan
dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya,
agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim
diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku
(saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk. (QS Al-Baqarah:
148 – 150).
Pada ayat sebelumnya
tersebut dijelaskan tentang suatu nikmat yang diberikan oleh Allah, yaitu nikmat
peralihan kiblat, dan pada QS Al-Baqarah ayat 151 diterangkan bahwa nikmat
tersebut akan disempurnakan lagi dengan datangnya seorang Rasul yang akan
mendidik dan memberikan pengetahuan tentang apa yang belum diketahui oleh
umatnya.
Munasabah dengan ayat selanjutnya. Setelah Allah menyempurnakan
nikmat dengan mendatangkan seorang Rasul, lalu pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan
agar supaya ingat dan bersyukur kepada-Nya serta melarang ingkar pada
nikmat-Nya:
þÎTrãä.ø$$sù öNä.öä.ør& (#rãà6ô©$#ur Í< wur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya
Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS
Al-Baqarah: 152).
C. Hubungan tentang Pendidikan Islam dengan Misi Profetis
Di
dalam QS Al-Baqarah ayat 151 di atas, diterangkan bahwasannya Allah telah
menyempurnakan nikmatnya dengan mendatangkan Rasul-Nya, yang mana Rasul
tersebut akan mengajari para umatnya apa-apa yang belum diketahui mereka dengan
Al-Quran dan As-Sunnah. Ini menunjukkan bahwasannya Allah mengutus rasul-Nya
sebagai rahmat bagi seluruh manusia untuk menuntun mereka kepada hidayah-Nya,
yaitu dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar.
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS Al-Anbiya’ 107)
Tidak
akan tertuntun dengan hidayah itu melainkan orang-orang yang siap menerimanya,
walaupun rahmat itu meliputi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
tidak beriman.[9]
Sesungguhnya
manhaj yang dibawa oleh Muhammad saw. merupakan manhaj yang menghendaki
kebahagiaan bagi manusia dan menuntun mereka kepada kesempurnaan yang telah
ditentukan dalam kehidupan ini.
Risalah
terakhir ini datang pada saat akal manusia telah matang. Ia datang membawa
kitab yang terbuka untuk semua akal pikiran dalam setiap generasi, yang
mencakup seluruh pokok-pokok kehidupan manusia yang tidak akan berubah. Ia
selalu siap memenuhi segala kebutuhan manusia yang terus-menerus baru, yang
diketahui oleh Allah Pencipta manusia. Dia lebih tahu tentang makhluk-Nya dn
Dia adalah Maha Mengetahui dan Maha Meliputi.
Kitab
Al-Qur’an ini telah meletakkan pokok-pokok manhaj yang kekal bagi kehidupan
manusia yang selalu berubah-ubah dan baru. Ia membiarkan manusia untuk
menyimpulkan hukum-hukum perincian dan cabang-cabang bagian kecil dari hukum
itu yang dibutuhkan oleh kehidupannya yang terus tumbuh dan baru. Mereka juga
dianjurkan untuk menyimpulkan sarana-sarana pelaksanaan hukum itu sesuai dengan
situasi dan kondisi kehidupan dan kebutuhannya, asal jangan sampai berbenturan
dengan kaidah-kaidah pokok dari manhaj yang abadi itu.
Sesungguhnya
risalah Muhammad saw. merupakan rahmat bagi kaumnya dan bagi seluruh manusia
setelahnya. Kaidah-kaidah yang dibawanya kelihatan aneh sekali pada awalnya
bagi hati nurani manusia, disebabkan oleh jurang yang jauh antara manhajnya
dengan kenyataan hidup dan kondisi ruh masyarakat yang jauh menyimpang. Namun,
kemudian manusia sejak itu mendekat sedikit demi sedikit kepada nuansa kaidah-kaidah
ini. Sehingga, keanehannya pun berangsur-angsur hilang dari persepsi mereka.[10]
Islam
datang membawa seruan untuk kesatuan manusia, yang menghilangkan segala
perbedaan jenis kelamin dan perbedaan geografis, agar mereka semua bertemu
dalam satu akidah dan satu sistem masyarakat. Perkara ini sangat aneh bagi
nurani, pikiran, dan kenyataan manusia pada saat itu. Orang-orang yang
berstrata tinggi dan mulia menganggap diri mereka berasal dari sumber kehidupan
lain yang tidak sama dengan sumber kehidupan para hamba sahaya.
Islam
juga datang untuk menyamakan kedudukan manusia dalam peradilan dan hukum.
Selain itu, banyak bukti lain yang menunjukkan bahwa risalah Muhammad saw.
merupakan rahmat bagi seluruh manusia, dan bahwasannya Muhammad saw. diutus sebagai
rahmat bagi seluruh alam semesta, baik yang beriman kepadanya maupun yang tidak
beriman kepadanya secara sama-sama.
Iniah
unsur murni dari rahmat dalam risalah Muhammad saw., yaitu unsur tauhid yang
mutlak dan menyelamatkan manusia dari praduga-praduga jahiliyah, beban-beban
animisme, dan tekanan khurafat. Unsur inilah yang mampu meluruskan kehidupan
dalam kaidahnya yang kokoh. Sehingga, ia menghubungkannya dengan seluruh yang
ada, sesuai dengan hukum yang jelas dan sunnah yang tetap. Bukan dengan menurutkan
kepada hawa nafsu dan dorongan syahwat. Unsur menjamin manusia untuk bersikap
tegak dan tidak tunduk kepada siapapun selain kepada Allah Yang Maha Perkasa.[11]
Dan
sebagai salah satu pengajaran, Allah mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan
berita gembiara kepada orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
memberi peringatan kepada mereka yang ingkar, agar mereka paham apa yang
seharusnya mereka perbuat agar mendapatkan kebahagiaan dunia maupun akhirat,
sebagaimana bunyi QS Saba’ ayat 28:
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS Saba’ : 28).
Inilah batas-batas
risalah umum bagi manusia seluruhnya. Pemberi berita gembira dan peringatan.
Dan, pada batas inilah risalah itu berhenti. Sedangkan, pembuktian berita
gembira dan peringatan itu adalah urusan Allah.[12]
cqä9qà)tur 4ÓtLtB #x»yd ßôãuqø9$# bÎ) óOçFZà2 tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÒÈ
Dan mereka
berkata: "Kapankah (datangnya) janji ini, jika kamu adalah orang-orang
yang benar?".
Pertanyaan
ini menyiratkan kebodohan mereka tentang fungsi Rasul dan ketidaktahuan mereka
tentang batas-batas risalah. Al-Qur’an amat menekankan akidah tauhid. Muhammad
saw. tak lain adalah seorang Rasul yang mempunyai tugas tertentu, dan beliaupun
menjalankannya.
Nabi
Muhammad adalah Al-Qur’an hidup dan manusia yang terhindar dari dosa. Di dalam
sebuah hadits pun diterangkan bahwasannya Nabi Muhammad diutus untuk
menyempurnakan akhlak. Untuk itu, alangkah baiknya kita mencontoh akhlak beliau
dalam kehidupan sehari-sehari.
[1] http://nuqynurqoyyimah.blogspot.com/2013/06/bab-i-pendahuluan-a.html diakses pada
Rabu, 19 Maret 2014 pukul 19.42 WIB.
[2] http://misteriyana.wordpress.com/2013/06/05/pendidikan-profetik/ diakses pada Ahad, 23 Maret pukul 11.54 WIB.
[3] Abdul Aziz, Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 7.
[4] Ibid, hlm
8.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hlm.
9.
[8] Ibid.
[9] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an Jilid 15, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 138.
[10] Ibid, hlm
139.
[11] Ibid, hlm.
140.
[12] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an Jilid 18, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar