A.
Pengertian Budaya Organisasi
1.
Pengertian Budaya
Edward
B.Tylor dalam kutipan Sulistiyorini mengatakan, budaya atau peradaban adalah
suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[1]
Dari
rumusan Tylor tentang budaya tersebut, dapat diambil pengertian yang lebih
jelas mengenai hakekat kebudayaan. Maka ada tiga hakekat kebudayaan yaitu:
adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat, adanya proses pemanusiaan, dan di
dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.
2.
Pengertian Organisasi
Istilah
organisasi dalam bahasa Inggrisnya “Organization” yang berarti hal yang
mengatur, dan kata kerjanya “organizing” berasal dari bahasa latin “organizare”
yang mengatur atau menyusun.[2]
Adapun
pengertian organisasi dari berbagai pendapat adalah:
a.
James
D. Mooney
“Organization in the from of eury
human association for the attainmen of common purpose” (organisasi adalah
bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama).
b.
Rolp
Currier Davis
“Organization is any group of
individuals that is working toward some common and under leadership”
(organisasi adalah sesuatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan
bersama di bawah kepemimpinan).
c.
Duright
Waldo
“Organization is the structure of
authoritative and habitual personal inter relation in an administrative system”
(organisasi adalah struktur hubungan-hubungan di antara orang-orang berdasarkan
wewenang dan bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi).
Dengan
mempelajari definisi-definisi di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu
definisi, yaitu organisasi adalah suatu wadah atau setiap bentuk perserikatan
kerjasama manusia (di dalamnya ada struktur organisasi, pembagian tugas, hak,
dan tanggung jawab) untuk mencapai tujuan bersama.
Dari
pengertian organisasi di atas, maka dapat ditentukan beberapa unsur yang mana
dengan unsur-unsur tersebut suatu organisasi akan terbentuk, unsur-unsur itu
antara lain:[3]
a.
Sekelompok
orang, di mana dari orang-orang tersebut ada yang bertindak sebagai pemimpin
dan bawahannya.
b.
Kerjasama
dengan orang yang berserikat. Dengan adanya kerja sama antara orang-orang yang
berserikat tersebut, maka tentu ada pula pembagian tugas (wewenang), tanggung
jawab, hak dan kewajiban, struktur organisasi, aturan-aturan azas atau prinsip yang
mengatur kerja sama tersebut.
c.
Tujuan
bersama hendak dicapai. Tujuan ini merupakan kesepakatan dari orang-orang yang
berserikat tersebut yang akhirnya dikenal dengan istilah tujuan organisasi.
Adapun
unsur organisasi modern meliputi:[4]
a.
Bentuk
atau konfigurasi, yaitu berbentuk bagian atau skema. Bentuk organisasi,
misalnya jalur atau lini, staf, fungsional, dan organisasi dewan atau panitia,
b.
Struktur
atau kerangka, yaitu bentuk pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab,
c.
Jabatan-jabatan,
yaitu formasi-formasi jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang tepat
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan,
d.
Prinsip-prinsip
dan aturan permainan. Prinsip-prinsip ini penting, disebabkan perlunya
konsekuensi dari masing-masing individu sebagai anggota dalam tugas dan
tanggung jawabnya dalam menjalankan kegiatan organisasi.
Organisasi
dapat dikatakan sebagai bentuk yang statis dan dinamis. Statis dalam pengertian
bahwa organisasi merupakan wadah untuk menampung semua kegiatan dalam rangka
mencapai tujuan. Dinamis berarti bahwa organisasi adalah bentuk dari aktivitas
seluruh komponen yang terlibat secara bersama-sama dalam gerak langkah yang
berirama, kompak, dan solid.[5]
3.
Pengertian Budaya Organisasi
Keberadaan
budaya di dalam organisasi atau disebut budaya organisasi tidak bisa dilihat
oleh mata, tapi bisa dirasakan. Budaya organisasi itu bisa dirasakan
keberadaannya melalui perilaku anggota karyawan di dalam organisasi itu
sendiri. Kebudayaan tersebut memberikan pola, cara-cara berfikir, merasa
menanggapi dan menuntun para anggota dalam organisasi. Oleh karena itu, budaya
organisasi akan berpengaruh juga terhadap efektif atau tidaknya suatu
organisasi.[6]
Beberapa
definisi budaya organisasi yang diungkapkan oleh para ahli sebagai berikut:
a.
Stephen
P. Robbins
Budaya organisasi adalah suatu
persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem
dari makna bersama.
b.
F.E.
Kast dan J.E. Rosenzweig
Budaya organisasi adalah seperangkat
nilai, kepercayaan dan pemahaman yang penting dan sama-sama dimiliki oleh para
anggotanya. Budaya organisasi menyatakan nilai-nilai atau ide-ide dan
kepercayaan bahwa yang sama-sama dianut oleh para anggota itu seperti terwujud
dalam alat-alat simbolis seperti mitos, upacara, cerita, legenda, dan bahasa
khusus.
Dari pengertian budaya dan
organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi
budaya organisasi di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa budaya
organisasi ialah sistem nilai, norma atau aturan, falsafah, kepercayaan, dan sikap
(perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola
kerja serta pola manajemen organisasi.
Edgar H.Schein dalam kutipan
Sulistiyorini mangungkapkan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa tujuan
yaitu:[7]
1.
Observed
behavioral regularites atau suatu
keteraturan perilaku yang tampak, yaitu suatu keteraturan perilaku yang
biasanya terjadi pada saat orang mengadakan interaksi, misalnya bahasa-bahasa
yang digunakan kebiasaan yang dilakukan.
2.
The
norms atau norma-norma, yaitu norma-norma
yang berlaku dalam kelompok kerja atau organisasi.
3.
The
dominan values espoused atau
nilai-nilai dominan yang dianut, yaitu nilai-nilai dominan yang dianut oleh
organisasi.
4.
The
filosophy atau falsafah, yaitu falsafah yang
ditetapkan dan dianut atau dilaksanakan oleh organisasi yang bisa mengarahkan
kebijakan-kebijakan organisasi dalam mencapai tujuannya.
5.
The
rules atau aturan-aturan, yaitu
aturan-aturan main yang ada di dalam organisasi dalam menghadapi hal-hal
tertentu.
6.
The
feeling or dimate atau perasaan
atau iklim (suasana), yaitu iklim atau keadaan (suasana) dalam organisasi yang
terasa dan dapat dilihat dari lay out fisik maupun cara-cara atau
suasana anggota organisasi dalam berinteraksi dengan pelanggan / orang luar.
B.
Pentingnya Budaya Bagi Kehidupan Organisasi
Setelah
mengkategorikan budaya organisasi yang sedang dikembangkan dan
diinternalisasikan maka perlu untuk mengetahui pentingnya budaya organisasi:
1.
Budaya
dalam suatu organisasi tentu akan melakukan beberapa fungsi.
2.
Budaya
mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas artinya budaya menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
3.
Budaya
membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
4.
Budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan
diri individual seseorang.
5.
Budaya
itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya
dalam kehidupan adalah memperekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi
itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan
dan dilakukan oleh para karyawan dan guru. Akhirnya budaya dapat berfungsi
sebagai mekanisme membuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku warga madrasah yang ada. Fungsi yang terakhir inilah yang sangat
menarik perhatian kita.[8]
Dengan
demikian maka jelaslah bahwa peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan
nampaknya makin penting dalam dasawarsa terakhir ini.
Dalam
budaya yang dilakukan adalah seolah-olah bahwa menerima tawaran kerja karena
mendapatkan kecocokan individu organisasi. Kemudian dengan kecocokannya itu
pekerja tersebut senang dan tersenyum karena dalam bertindak terdapat
keseragaman yang sekaligus mereka mempertahankan citra karena didukung oleh
budaya yang kuat aturan dan keteraturan yang formal.
Di
sisi lain kita dapat melihat bahwa budaya dapat menjadi penghalang terhadap
suatu perubahan bahkan budaya merupakan suatu beban bilamana nilai-nilai
bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi
itu. Dalam hal ini maka kita merasa sedih apabila di dalam suatu organisasi
tersebut memerlukan hal yang baru dan sangat dinamis sementara di situ terdapat
budaya yang berakar dari organisasi itu sementara sudah tidak tepat lagi dalam
melakukan perubahan, hal ini pula akan menjadi terhambatnya perubahan serta
menjadikan tidak dinamisnya suatu organisasi. Model semacam ini maka akan
membebani organisasi tersebut dan menyulitkan terutama dalam menanggapi
perubahan-perubahan dalam lingkungan itu.[9]
Dalam
merubah perilaku seseorang baik individu maupun kelompok di dalam organisasi,
budaya sangat berperan dan sangat efektif dalam pencapaian tujuan organisasi,
baik dalam pencapaian prestasi dan lain-lain. Budaya dalam sebuah organisasi
terkadang kuat dan adapula yang lemah. Budaya organisasi dikatakan kuat apabila
nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan bersama tersebut dipahami serta dianut
dengan teguh dan komitmen yang tinggi sehingga rasa kebersamaan dapat tercipta.
Dan sebaliknya budaya yang lemah maka tercermin pad kurangnya komitmen anggota
karawan terhadp nilai-nilai kepercayaan dan sikap bersama yang bisa dilakukan
atau disepakati.
Berkaitan
dengan itu, maka F.E.Kast dan J.E.Rosenzweig mengemukakan bahwa kebudayaan yang
kuat merupakan perangkat yang kuat untuk menuntun perilaku dan membantu para
karyawan untuk mengerjakan pekerjaan dengan sedikit lebih baik terutama dalam
dua hal:[10]
1.
Kebudayaan
yang kuat adalah sistem aturan-aturan informal yang mengungkapkan bagaimana
orang berperilaku dalam sebagian besar waktu mereka
2.
Kebudayaan
yang kuat memungkinkan orang merasa lebih baik tentang apa yang mereka
kerjakan, sehingga mereka mungkin bekerja lebih keras.
Dari
uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa budaya yang kuat akan
mengantar sebuah organisasi menjadi sukses dan menjadikan inovasi serta
tercapainya sasaran-sasaran yang diinginkan oleh organisasi tersebut. Dan
lebih-lebih lagi anggota dapat mempertahankan kesetiaan, ketekunan, ulet, dan
melaksanakan berbagai macam tugas yang diberikan serta diamanatkan lembaga
organisasi.
Hasil
lainnya dari suatu budaya yang kuat adalah bahwa budaya itu akan meningkatkan
perilaku konsisten. Budaya itu menyampaikan kepada pegawai tentang bagaimana
perilaku mereka yang seharusnya. Budaya itu mengemukakan kepada pegawai hal-hal
seperti ketidakhadiran yang dapat diterima. Beberapa budaya mendorong pegawai
untuk menggunakan hari-hari sakit mereka dan tidak berbuat banyak untuk
mengurangi absensi. Tidaklah mengherankan jika organisasi yang demikian
mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi daripada organisasi di mana orang
tidak masuk kerja apapun alasannya dianggap tidak mempedulikan teman
sekerjanya.[11]
Jika
dianggap bahwa budaya yang kuat akan meningkatkan konsistensi perilaku, maka
logis untuk menyimpulkan bahwa budaya itu dapat menjadi sarana yang kuat untuk
mengontrol dan dapat bertindak sebagai sebuah substitusi bagi formalisasi.
Kita
tahu bahwa peraturan formalisasi bertindak untuk mengatur perilaku pegawai.
Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan kemampuan untuk
meramal, keteraturan dan konsistensi. Sebuah budaya yang kuat dapat mencapai
tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Di samping itu, sebuah
budaya yang kuat mungkin lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural
formal manapun karena budaya mengontrol pikiran dan jiwa, di samping jasmani.
Maka
tepatlah jika kita melihat formalisasi dan budaya sebagai dua jalan yang
berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Makin kuat budaya sebuah organisasi,
makin kurang pula kebutuhan manajemen untuk mengembangkan peraturan formal
untuk memberi pedoman pada perilaku pegawai. Pedoman tersebut akan dihayati
oleh para pegawai jika mereka menerima budaya organisasi.
Begitu
juga dapat kita pahami makna budaya bagi kehidupan organisasi mempunyai dampak
positif. Dalam praktik memang justru sering terjadi yang sebaliknya kinerja
organisasi terus mengalami penurunan gara-gara mempunyai budaya yang terlampau
kuat, pasalnya budaya yang terlalu kuat bisa menimbulkan egosentrisme
seolah-olah merekalah yang terbaik di antara para pesaing.
C.
Terbentuknya Budaya Organisasi
Budaya
organisasi tidak muncul begitu saja, akan tetapi bila sudah muncul maka budaya
tersebut sukar untuk dipadamkan, artinya akan melekat dalam perilaku organisasi
tersebut. Kebiasaan, tradisi, dan cara-cara umum yang dilakukan sebelumnya dan
tingkat keberhasilan yang diperoleh dengan usaha keras tersebut, ini membimbing
kita ke sumber paling akhir dari budaya suatu oraganisasi.
Seperti
dijelaskan terdahulu bahwa budaya organisasi menyangkut masalah nilai yang
dipahami dan dianut bersama dalam suatu organisasi. Nilai-nilai tersebut bisa
terbentuk melalui beberapa cara antara lain: pimpinan (kepemimpinan),
pendiri/pemilik, dan interaksi antar individu dalam organisasi.
Seorang
pimpinan dengan gaya dan perilakunya bisa menciptakan nilai-nilai,
aturan-aturan kerja yang dipahami dan disepakati bersama serta mampu
mempengaruhi atau mengatur perilaku individu-individu di dalamnya, sehingga
nilai-nilai tersebut menjadi sebuah perilaku anutan bersama, yaitu yang disebut
dengan budaya organisasi.[12]
Sedangkan
pendiri atau pemilik organisasi tentunya mempunyai misi dan tujuan dalam
mendirikan organisasi, untuk merealisasikan misi dan tujuan tersebut mereka
membuat suatu aturan-aturan yang ditujukan dengan perilaku sehari-hari saat
mengelola organisasi yang didirikannya, di mana aturan dan perilaku tersebut
akhirnya menjadi suatu nilai yang dianut bersama secara kuat dan mengikat
setiap individu yang ada di dalam organisasi. Nilai-nilai yang dibentuk dan
dikehendaki oleh pendiri tersebut biasanya diikuti oleh para pengelola dan
generasi berikutnya.
Budaya
organisasi bisa juga terbentuk karena di dalam organisasi tersebut terjadi
interaksi (pergaulan) antara individu (anggota yang mempunyai latar belakang
budaya masyarakat yang berbeda). Dalam interaksi para individu akan terjadi
saling memahami, mempelajari bahkan saling mempengaruhi perilaku yang dibawa
dari budaya masyarakat dari mana mereka berasal.
Di
sisi lain bila kita mencermati terbentuknya budaya organisasi pendiri suatu
organisasi secara tradisional mempunyai dampak utama pada budaya organisasi
tersebut. Mereka dalam suatu budaya organisasi mempunyai suatu visi
(penglihatan). Mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu mereka tidak
dikehendaki oleh kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya
menjadi ciri organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada
semua anggota organisasi.[13]
Secara
kronologis pembentukan budaya organisasi dimulai sejak pembentuan organisasi
itu sendiri. Ketika para pendiri organisasi memiliki gagasan untuk membentuk
organisasi, pada saat itu pula embrio budaya organisasi ditanamkan.
Realisasinya adalah ketika organisasi itu benar-benar telah berdiri. Proses
pembentukan budaya organisasi melalui alur sebagai berikut:[14]
1.
Para
pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai-nilai,
persepektif ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada para anggota.
2.
Budaya
muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk
memecahkan masalah pokok organisasi.
3.
Secara
personal, masing-masing anggota memiliki peluang untuk menciptakan budaya baru
melalui pengembangan budaya yang ada agar nilai-nilai dasar organisasi lebih
bisa beradaptasi dengan perubahan.
Apabila
budaya sudah terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak untuk
mempertahankannya dengan memberikan kepada karyawan seperangkat pengalaman yang
serupa seperti adanya sumber daya manusia yang memperkuat budaya organisasi
tersebut, seperti mempertahankan suatu budaya seperti praktik seleksi, tindakan
manajemen puncak, dan metode sosialisasi.
a)
Seleksi
mempunyai tujuan eksplisit yaitu mengidentifikasi dan mempekerjakan
individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk
melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Proses
seleksi memberi informasi kepada para
pelamar mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan konflik antara nilai
mereka dengan nilai organisasi itu, mereka dapat mengundurkan diri dari
pencalonannya. Dengan demikian, proses seleksi tersebut mempertahankan budaya
organisasi dengan menyaring individu yang mungkin akan menyerang atau
mengacaukan nilai-nilai intinya.
b)
Manajemen
puncak. Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya
organisasi, bagaimana mereka berperilaku, apakah pengambilan resiko diperlukan,
berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh manajer kepada bawahan
mereka, dan lain-lain. Para pegawai memperhatikan perilaku manajemen, “seperti
si A pada saat itu ditegur, padahal pekerjaannya baik, hanya karena ia sebelumnya
tidak diminta untuk melakukannya, atau si B dipecat karena ia di depan umum
tidak setuju dengan pandangan perusahaan. Kejadian-kejadian tersebut kemudian
dalam kurun waktu tertentu menetapkan norma-norma yang kemudian meresap ke
bawah melalui organisasi dan memberitahukan apakah pengambilan resiko itu
diinginkan atau tidak, berapa banyak kebebasan yang harus diberikan para
manajer kepada para bawahannya, busana yang bagaimana yang cocok, tindakan apa
yang akan memberi hasil, dalam hubungannya dengan kenaikan gaji, promosi, dan
imbalan lainnya, dan sebagainya.
c)
Sosialisasi.
Proses penyesuaian sangat perlu dilakukan organisasi itu dalam merekrut dan
seleksi. Karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi.
Oleh karena itu, maka organisasi bermaksud membantu karyawan untuk menyesuaikan
diri dengan budayanya.[15]
Kesuksesan
adalah merupakan nilai budaya organisasi yang diharapkan menuju ke arah visi,
misi organisasi tersebut. Maka dalam hal ini sangat diperlukan sarana atau
media untuk menyampaikan kepada kesuksesan tersebut. Sarana yang dimaksud
adalah adanya cerita, ritual, simbol-simbol material, dan bahasa seperti
jargon-jargon atau memakai kalimat-kalimat yang mencampur adukkan bahasa.
D.
Elemen Budaya Organisasi
Secara
umum terdapat dua elemen pokok dari budaya organisasi. Yakni elemen idealistik
dan elemen behavioral. Elemen idealistik adalah elemen budaya organisasi yang
berupa ideologi yang dianut oleh anggota organisasi yang tidak mudah berubah.
Bersifat elusive (terselubung) dan tidak tampak (hidden).
Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi memiliki ideologi. Namun
tidak seluruh organisasi menyatakan ideologinya secara terbuka. Bagi sebuah
organisasi baru ideologi ini biasanya sejalan dari ideologi pendiri, karena
pembentukan dari organisasi merupakan upaya untuk mewujudkan falsafah, nilai
bersama yang diyakini oleh para pendiri. Dalam perkembangannya kemudian
ideologi para pendiri organisasi ini diikuti dan dipertahankan serta
dikembangkan oleh para pengikut dan anggota organisasi.[16]
Sedangkan
elemen budaya behavioral adalah elemen yang nampak, kasat mata, mewujud dalam
pola sikap dan perilaku para anggota organisasi, dalam simbol-simbol yang
dipergunakan oleh organisasi dan menjadi kekhasan atau ciri khas organisasi
dibandingkan dengan yang lain.[17]
Bagi
kalangan luar organisasi elemen behavioral inilah yang mudah untuk diamati,
sebagai bentuk representasi dari organisasi. Bentuk nyata dari elemen ini
misalnya dapat diamati dari kebiasaan, perilaku anggota organisasi, dalam
praktek manajemen organisasi, simbol organisasi, jargon, cara berkomunikasi,
cara berpakaian, cara bertindak yang mudah dipahami oleh orang luar organisasi.
Dua
elemen organisasi terkait erat satu sama lain. Karena yang satu merupakan inti
dan yang lain merupakan perwujudannya. Collin dan Porras menggambarkan hubungan
dua elemen organisasi ini dengan meminjam filosofi Cina “Yin-Yang”. Elemen
idealistik digambarkan sebagai unsur “Yin” bersifat lembut, mengayomi, pasif,
tenang, dan lebih berorientasi ke dalam. Dimensi Yin terdiri dari core
ideologi, core valeu, core purpose, yang tidak mudah berubah. Sedangkan
dimensi behavioristik digambarkan sebagai “Yang” bersifat kompetitif, agresif,
kuat, dinamis, dan lebih berorientasi ke luar, lebih mudah untuk mengalami
perubahaan.[18]
E. Dimensi
Dan Tipe Budaya Organisasi
Hotstede mengelompokkan budaya organisasi
dalam 6 dimensi sebagai berikut :
1.
Process oriented vs.
result oriented.
2.
Employee oriented
vs. job oriented.
3.
Parochial vs.
professional.
4.
Open system vs. close
system.
5.
Loose control vs.
tight control.
6.
Normative vs.
pragmatic.
Sementara Denison mengemukakan 4 dimensi
budaya organisasi yang dikaitkan dengan tingkat efektifitas organisasi :[19]
1.
Keterlibatan
(involvement) : dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi
anggota dalam proses pengambilan keputusan.
2.
Konsistensi
(Consistency) : menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap
asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi.
3. Adaptasi
(Adaptability) : kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan
lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi.
4.
Misi (Mission) :
Dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan
organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi.
F.
Strategi Perubahan Budaya Organisasi
Budaya
organisasi adalah sesuatu yang dinamis. Di antara kondisi lingkungan yang
menuntut adanya perubahan budaya organisasi adalah terjadinya krisis
organisasi, pergantian kepemimpinan, pembentukan organisasi baru. Jelasnya
budaya organisasi akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang
terjadi pada organisasi itu sendiri.
Strategi
perubahan budaya organisasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan:[20]
1.
Pendekatan
agresif (agresive approach), adalah perubahan budaya yang menggunakan
kekuasaan (struktur), non-kolaboratif, membuat konflik, sifatnya dipaksakan, win-lose,
dan menggunakan dekrit.
2.
Pendekatan
damai (conciliative approach), dilakukan secara kolaboratif, dopecahkan
bersama, win-win, integratif, dan diperkenalkan dulu budaya baru yang
akan digunakan untuk mengganti budaya lama.
3.
Pendekatan
yang merusak sedikit demi sedikit budaya yang ada (carrosive approach),
dilakukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak terencana, politis, koalisi,
dan mengandalkan networking.
4.
Pendekatan
indoktrinatif (indoktrinative approach), bersifat normatif dengan
menggunakan program pelatihan dan melakukan pendidikan ulang terhadap pemahaman
budaya baru.
Perubahan
budaya organisasi tidak berlangsung begitu saja, akan tetapi melewati beberapa
tahapan berikut:[21]
1.
Deformasi,
pada tahap ini perubahan belum terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan
bahwa perubahan budaya perlu dilakaukan.
2.
Rekonsiliasi,
gagasan perubahan yang digulirkan seringkali direspon secara beragam, ada yang
mendukung dan ada pula yang menentang. Dengan kondisi seperti inilah maka
kemudian diperlukan proses-proses negoisasi, mediasi untuk terjadinya
rekonsiliasi.
3.
Akulturasi,
mengkomunikasikan kesepakatan yang telah dicapai pada tahap sebelumnya untuk
menciptakan komitmen di antara mereka yang sebelumnya terjadi perbedaan
pendapat. Dengan proses ini diharapkan perubahan akan dapat lebih mudah untuk
dilakukan.
4.
Enactive,
pelaksanaan perubahan budaya secara riil. Pada tahap ini pemikiran, pembahasan,
diskusi, dan perdebatan tentang budaya baru sudah berakhir. Espoused culture
berubah menjadi culture in practice.
5.
Formative,
pembentukan struktur dan bentuk budaya. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk
membentuk, mendesain struktur budaya untuk menciptakan arsitektur budaya baru.
Gagasan
perubahan budaya organisasi, meski memang merupakan suatu kebutuhan yang
disadari oleh seluruh anggota organisasi, namun dalam kenyataannya tidak semua
anggota organisasi dapat menerima secara legowo. Perubahan budaya itu
seringkali direspon dengan sikap resisten atau penolakan.
G.
Budaya Organisasi Dalam Lembaga Pendidikan Islam
Kinerja
dalam suatu kelembagaan, posisi pimpinan memegang peranan yang sangat penting.
Hal ini tidak terkecuali dalam Lembaga Pendidikan Islam, baik madrasah (dalam
arti formal) maupun pesantren (dalam arti non formal). Kepala madrasah atau
kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan, dilihat dari status dan cara
pengangkatannya tergolong pemimpin murni, formal leader atau status
leader. Kedudukannya sebagai status leader dapat meningkat menjadi functional
leader atau operational leader, tergantung pada prestasi dan
kemampuan di dalam memainkan peranan sebagai pemimpin pendidikan pada sekolah
Islam yang dipimpinnya.[22]
Sebagai
pimpinan lembaga pendidikan Islam, hendaknya ia mengembangkan sekolah Islam
sebagai sekolah pusat kebudayaan dan ketahanan sekolah. Hal ini penting, karena
justru sekolah Islam kini harus ikut berkiprah dalam pembangunan bangsa dan
negara. Lebih dari itu sekolah Islam harus menjawab tantangan tentang adanya
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan keamanan masyarakat sekitarnya. Marjin Sjam dalam kutipan
Sulistiyorini menyatakan bahwa kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna
mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan.
Penampilan
sekolah Islam harus berperan kreatif dan aktif untuk mengembangkan kebudayaan
yang menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu kepala sekolah Islam
harus dapat menciptakan suasana yang Islami, aman, tentram, damai, dan
sejahtera agar semua program dapat berjalan dengan lancar.[23]
Kepemimpinan
pendidikan Islam, di samping menjelaskan di mana kepemimpinan dan prosesnya
berada dan berperan, hendaknya mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri khusus
kepemimpinan Islam yang bersifat mendidik, membimbing, dan tidak memaksa atau
menekan dalam bentuk apapun.
Sikap-sikap
kepemimpinan yang harus tumbuh subur dalam dada seorang muslim adalah satu
kesatuan yang kuat antara iman dan amal, antara cita dan realita, yang kemudian
mewujudkan satu ketauladanan (uswatun hasanah). Sikap moral yang tumbuh
dari satu cita-cita agung dan ditopang oleh kemampuan teknis dan konsepsional
harus merupakan satu aset yang terus dipupuk, dikembangkan dan kemudian
melahirkan buah. Di samping akhlaknya yang luhur, maka dalam proses
kepemimpinannya itu, setiap muslim setidaknya harus mempunyai beberapa
kemampuan pokok sebagai penunjang untuk mewujudkan keinginannya tersebut, yaitu
7M:[24]
1.
Mampu
fisik dan mental
2.
Mampu
untuk merumuskan gagasan
3.
Mampu
berkomunikasi
4.
Mampu
bernegoisasi
5.
Mampu
untuk meyakinkan dan menggerakkan
6.
Mampu
mengembangkan sumber daya
7.
Mampu
beradaptasi dan mengambil peran
Tujuan
kemampuan itu harus mampu mempengaruhi diri sendiri terlebih dahulu. Sikap
istiqomah atau disiplin merupakan kata kunci untuk menanam benih-benih
keunggulan itu dalam dirinya.
[1] Sulistiyorini,
Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: Penerbit eLKAF, 2006), hlm. 177.
[4] Wiji Suwarno, Perpustakaan
& Buku, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 14.
[5] Ibid.
[11] Stephen P.
Robbins, (Alih Bahasa: Jusuf Udaya), Teori Organisasi (Struktur, Desain, dan
Aplikasi), (Jakarta: Penerbit Arcan, 1994), hlm. 485.
[14] Fathul Mujib, Diktat
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Tulungagung, 2008, hlm. 102.
[16] Fathul Mujib, Manajemen.
. ., hlm. 104.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[20] Ibid, hlm.
108.
[21] Ibid, hlm.
109.
Tidak dipungkiri kalau Indonesia jadi negara dgn bermacam macam suku & kekayaan adat juga budayanya sejak dahulu. Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia patut berbangga dan terus mencintai tanah air tercinta ini. Dan ingat satu hal "Bangsa Yang Besar Itu Adalah Bangsa Yang Menghargai Budayanya". Majulah Indonesiaku dengan beragam suku bangsamu.
BalasHapuscara mengobati vertigo | pengobatan kanker serviks | obat gula darah tinggi | obat nyeri otot dan sendi