A.
Sikap
remaja terhadap agama.
Perasaan remaja dalam beragama memang dapat dipengaruhi oleh
perasaan beagama yang didapat dari masa sebelumnya dan lingkungan dimana ia
tinggal. Bagi remaja yang tidak beruntung mempunyai orang tua bijaksana yang
mampu memberikan bimbingan agama pada waktu kecil, maka usia remaja akan
dilaluinya dengan berat dan sulit.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya
merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta
dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Perasaan beragama
pada remaja khususnya terhadap Tuhan tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat cinta
dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan
menentang.
Sikap remaja terhadap agama menurut
Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut:
1.
Percaya dengan turut-turutan.
Kebanyakan
remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama hanya karena
lingkungannya yang beragama, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah
dan ajaran-ajaran agama, sekedar dengan suasana lingkungan di mana ia hidup.
Percaya seperti inilah yang disebut dengan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah
apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak amau aktif
dalam kegiatan-kegiatan agama.[1]
2.
Percaya dengan kesadaran.
Kesadaran beragama bagi remaja akan timbul dengan baik apabila ajaran agama
yang didakwahkan kepada mereka
diterima dengan akal sehat, dengan teliti dan kritik berdasarkan ilmu
pengetahuan. Biasanya percaya dengan kesadaran ini terjadi pada masa remaja
akhir, yang memang sejak masa kecilnya sudah dibiasakan untuk melaksanakan
ajaran agama.[2]
3. Percaya dengan ragu-ragu
Golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, yaitu apabila ajaran agama
yang didakwahkan kepada mereka semenjak kecil lebih bersifat otoriter, paksaan
untuk mengamalkannya, sehingga pada masa remajanya terjadi perberontakan
terhadap sifat otoriter tersebut.[3]
4. Tidak percaya sama sekali (cenderung atheis)
Golongan remaja ini bermula dari
golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, makin lama keraguannya semakin
bertambah sehingga semakin jauh dari ajaran agama. Salah satu penyebabnya
adalah bertumpuknya perasaan kecewa karena dorongan atau keinginan yang tidak
terpenuhi, sehingga berakibat pesimis dan putus asa. Bagi remaja yang kurang
meresap nilai agamanya dalam jiwanya lambat laun akan menjadi marah dan benci
terhadap agama karena ia memandang agama sebagai penghalang hawa nafsunya dalam
mencapai kepuasaan hidupnya.[4]
B.
PERKEMBANGAN
JIWA AGAMA REMAJA
1.
Pra-Remaja
(Puber/Negatif) (13-16 tahun)
Perkembangan
jiwa agama pada usia pra-remaja atau disebut masa puber atau kemkratu/negatif,
kedua ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada
di sekitarnya. Secara singkat perkembangan jiwa agama pra-remaja, yaitu: 1)
Ibadah karena pengaruh keluarga, teman, lingkungan, dan peraturan sekolah, 2)
Kegiatan agama lebih banyak dipengaruhi emosional dan pengaruh luar.[5]
2. Remaja
Awal (16-18 tahun)
Perkembangan
jiwa agama pada remaja awal adalah menerima ajaran dan perilaku agama dengan
dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan jiwa agama pada remaja awal ini disebabkan
karena beberapa hal, yaitu:
a. Timbul
kesadaran untuk melihat dirinya sendiri.
Dengan
semakin matang organ jasmani yang diiringi kematangan emosi maupun pikiran maka
para remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri, baik kekurangannya,
kelebihannya maupun masa depannya. Kesadaran akan dirinya sendiri ini akan
mengarahkan mereka juga berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku
agama.[6]
b. Timbul
hasrat tampil ke depan umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para
remaja termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Remaja
Masjid (Remas), mengelola TPA/TPQ dan sebagainya. Keterlibatan remaja awal
dalam berbagai kegiatan agama tidak semata-mata karena mengharapkan pahala atau
sebagai penebus dosa atas perbuatan jahatnya, tetapi juga didorong kuat oleh
hasratnya untuk tampil ke depan umum agar mendapatkan pengakuan atau status
sosial. Dengan mendapatkan pengakuan atau status sosial yang semakin meningkat
maka akan mendorong remaja semakin percaya diri serta merasakan kepuasan batin.[7]
c. Teriring
dengan semakin mantapnya jiwa agama remaja awal maka tumbuh semangat dalam
melakukan agama, yaitu semangat positif yang diwujudkan dalam perilakunya menjauhkan
diri dari bid’ah dan kurafat seprti tidak suka datang ke dukun,
ataupun menggunakan jimat-jimat, namun lebih kepada ajaran agama yang bersifat
formal. Sebaliknya bagi sebagian remaja yang tidak memiliki berbagai kelebihan,
utamanya dalam ilmu pengetahuan agama yang memadahi atau kesempatan tampil ke
depan umum secara rasional tidak terpenuhi maka mendorong sekelompok remaja
melakukan perilaku negatif, yaitu semangat khurafi, senang jimat,
kekebalan tubuh, dan sebagainya. Dengan semangat khurafi seperti suka
melakukan ritual di tempat-tempat tertentu maupun menggunakan jimat dan ilmu
kekebalan tubuh, mereka sebenarnya mengharapkan dengan berbagai kelebihannya
tersebut bisa diterima dan diakui oleh masyarakat sebagai orang hebat.[8]
3. Remaja
Akhir (18-21 tahun)
Perkembangan
jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik tetapi malah
semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja
akhir semakin menurun karena diliputi oleh dorongan seksual yang kuat dan belum
ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama
yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat yang sering kali
melanggar norma-norma agama. Kondisi tersebut yang menyebabkan ajaran-ajaran
agama yang dipelajari dan dilakukan sejak kecil mulai mengalami masa penurunan
pada usia remaja akhir ini. Terkait dengan masalah ini, Dr. Al Malighy
menemukan keraguan remaja dalam hal agama pada usia 17-20 tahun. Dengan
demikian ada beberapa karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir
yaitu:[9]
a. Percaya
tapi penuh keraguan dan bimbang.
b. Keyakinan
beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
c. Dapat
mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang diterima waktu kecil.
Keraguan
jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun (adolescence).
Pada usia akhir remaja, maka seseorang mengarah pada semakin tidak percaya sama
sekali (peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya.
Hal itu ditandai dengan:[10]
1)
Mengingkari wujud Tuhan dan
ingin mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya masih percaya,
2)
Bila usia sebelumnya tidak mendapat
pendidikan agama maka remaja usia ini dapat mengarah ke ateis. Dr. Al Malighy
menemukan mahasiswa jurusan sastra dan filsafat di Amerika Serikat lebih
condong kepada ateis.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh
beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan
itu antara lain menurut W.Starbuck yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat adalah:[11]
a.
Pertumbuhan pikiran dan mental.
Ide dan
dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah
tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai
timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan,
sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
b.
Perkembangan perasaan.
Berbagai
perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis
mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam
kehidupannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat
ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan
seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan
ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan
seksual yang negatif.
c.
Pertimbangan sosial.
Corak
keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam
kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara perkembangan moral dan
material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi
lebih dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung
jiwanya untuk bersikap materialis.
d.
Perkembangan moral.
Perkembangan
moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari
proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1. Self-directive,
taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2. Adaptive,
mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive,
merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4. Unadjusted,
belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5. Deviant,
menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral
masyarakat.
e.
Sikap dan minat.
Sikap
dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan
hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
f.
Ibadah.
Pandangan
para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana
sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa remaja
yang menganggap sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi lebih
banyak daripada remaja yang mengatakan sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan.
C.
Perkembangan Moral Remaja dan Hubungannya dengan Agama.
Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau
membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Dalam hal ini Agama mempunyai
peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi harus diingat bahwa
pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan bermoral. Betapa banyak
orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang
yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang peneliti
ilmu jiwa agama harus mempelajari pula dinamika dan perkembangan moral, supaya
dapat memahami bagaimana peranan agama dalam moral, dan agama itu dapat menjadi
pengendali moral. Kita akan melihat betapa erat hubungan agama dengan
ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih jelas, dapat kita lihat sangkut paut
keyakinan beragama dengan moral remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :[12]
1.
Tuhan
sebagai penolong moral.
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral,
pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada
sandaran emosi. Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak
dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada
suatu hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk
mengendalikannya moral.
2.
Pengertian
surga dan neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah
untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai
lambang bagi pikiran pembalasan atau lambang kebahagiaan yang ingin dicapainya
dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.
3.
Pengertian
tentang malaikat dan setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan
malaikat itu dengan dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara
setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan
malaikat dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga
dengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan
ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa
D.
Masalah Mati dan Kekekalan bagi Remaja
Pada masa remaja telah dapat dipahami bahwa mati itu adalah suatu hal
yang tak dapat dihindari oleh setiap diri, bahkan mati itu adalah fenomena
alamiah yang harus terjadi. Pemikiran remaja tentang mati dalam hal ini terdorong
oleh kepentingan emosi yang dirasakannya.
Pada masa remaja pengertian tentang mati telah lebih meluas dan
mendalam, sehingga ia memandangnya sebagai suatu fenomena umum yang wajar, yang
akan menimpa semua orang dan juga dirinya sendiri, bahkan akan terjadi atas
seluruh makhluk. Mereka tidak dapat menghilangkan kegelisahan mereka mengenai :[13]
1.
Takut
berpisah dengan keluarganya. Takut ditinggalkan oleh ibu, atau bapak, bukan
saja takut akan kehilangan sandaran emosi, tapi yang lebih penting ialah takut
menghadapi kesukaran-kesukaran yang akan datang.
2.
Takut
dirinya akan mati karena :
a. Berpisah dengan orang-orang yang disayangi dan
khawatir meninggalkan mereka.
b. Rasa dosa, takut bertemu dengan Allah, seolah-olah
takut mati itu sebenarnya adalah takut akan hukuman akhirat.
c. Takut mati karena ambisinya. Pada masa remaja
ambisi adalah suatu cirri khasnya. Remaja lebih banyak khayalan dan cita-cita
serta takut tidak akan tercapai cita-cita itu.
Percaya akan adanya akhirat, keyakinan itu akan
mengurangkan kecemasan terhadap mati, dengan mengalihkan
kegelisahan-kegelisahan takut mati, kepada sesuatu yang berhubungan dengan itu,
yaitu neraka dengan apinya yang menyala atau surga dengan nikmatnya, atau yang
berarti timbulnya pengertian tentang pembalasan yang akan berakhir dengan
kecenderungan kepada berkuasanya yang baik, hal ini akan mengurangkan
kegelisahannya terhadap soal-soal mati,dan dapatlah ia menghadapi hidup ini.
Jika kegelisahan itu bertambah, maka hidup ini tidak akan dirasakan berarti
lagi. Maka takut akan neraka dan harap akan surga dalam ajaran agama, memainkan
peranan penting dalam mengurangkan kecemasan akan mati.[14]
Setelah mati diakui dan diterima oleh remaja, maka
ada diantaranya yang ingin mati, mungkin hal ini sebenarnya gambaran negative
dari takut mati atau hanya ingin lari dari kesukaran-kesukaran hidup yang
dihadapinya. Bahkan ada orang yang seolah-olah menghadang mati, sebenarnya ia
ingin kekal dalam bentuk apapun.[15]
E. Pembinaan
Agama Pada Remaja
Semua
perubahan jasmani yang begitu cepat pada masa remaja menimbulkan kecemasan pada
dirinya, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan
kekhawatiran. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap
dirinya. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang kuat, akan tetapi
kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara ibadahnya
yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas, perasaan kepada Tuhan
tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya, kadang-kadang ia
merasa membutuhkan Tuhan, terutama ketika mereka menghadapi bahaya, takut akan
gagal atau merasa dosa. Tapi ia kadang-kadang tidak membutuhkan Tuhan, ketika
mereka sedang senang, siang, dan gembira.[16]
Hendaknya
guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan perasaan
akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan segala keinginan,
dorongan, dan ketidakstabilan kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru
agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga
kegoncangan perasaan dapat diatasi.[17]
Perlu
pula diingat oleh guru agama bahwa perkembangan kecerdasan remaja, telah sampai
kepada mampu memahami hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu mengambil
kesimpulan dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya. Maka pendidikan agama tidak
akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya. Apa yang dulu waktu masih
kanak-kanak dapat diterimanya tanpa bertanya, tapi pada usia tersebut, remaja
akan sering bertanya atau meminta penjelasan tentang ajaran agama yang masuk
akal. Karena mereka tidak dapat menerima apa yang tidak dapat dimengertinya,
para remaja pada umur tersebut, seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
yang kadang-kadang sukar bagi guru agama untuk menjawabnya. Guru yang tidak
mengerti perkembangan jiwa remaja, akan menyangka bahwa peserta didiknya tidak
mau menerima keterangannya, atau mencari-cari soal yang memojokkannya, lalu ia
marah, atau menjawab dengan hukum dan ketentuan agama yang tegas, yang harus
diterima dan dipatuhi, kalau tidak, akan berdosa, masuk neraka dan sebagainya.
Guru agama yang seperti itu, tidak akan berhasil menumbuhkan minat peserta
didik kepada pendidikan agama, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya, di mana
guru agama akan menjadi kurang dihargai oleh peserta didik dan selanjutnya
penanaman dan pembangunan jiwa agama pada peserta didik tidak atau kurang
berhasil.[18]
Dengan
ringkas dapat dikatakan bahwa guru agama hendaknya dapat memahami betul
perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh remaja dan memiliki metode
yang cocok dalam melaksanakan pendidikan agama. Pendidikan agama akan dapat
dilaksanakan dengan berhasil dan berguna apabila guru agama mengetahui
perkembangan jiwa yang dilalui oleh anakdan remaja, pertumbuhan anak dari lahir
sampai kepada masa remaja terakhir melalui berbagai tahap dan masing-masing
mempunyai ciri dan keistemewaan sendiri-sendiri. Setiap tahap merupakan
lanjutan dari tahap sebelumnya, dan akan dilanjutkan pada tahap berikutnya,
yang akhirnya mencapai kematangan. Pendidikan agama harus memperhatikan ciri
dari masing-masing tahap itu dan dapat mengisi serta mengembangkan kepribadian
masing-masing peserta didik.[19]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar