“Pantaskah aku menyesali semua ini? Di saat semua
telah pergi karena kebodohanku?” itulah kalimat yang selalu berkecamuk di otak
Fara.
Di atas ranjang pribadinya, dia merebahkan badannya
dan menatap langit-langit kamarnya sambil membayangkan kejadian dua bulan yang
lalu yang seharusnya tidak dia kerjakan. Seribu penyesalan telah berhasil
membuat matanya berair, “Aku benar-benar minta maaf” ucapnya lirih.
Dari langit-langit kamarnya, Fara mengarahkan
pandangannya pada benda bundar. Dari benda tersebut, dapat terbaca 19.00, pukul
tujuh malam. Ia pun teringat dengan sebuah benda yang secara tidak sadar
membuat hubungannya dengan Randy semakin dekat dan semakin membaik. Segera dia
mengambil benda itu dari laci meja kamarnya dan kembali duduk di atas
ranjangnya.
“Aku akan segera mengakhiri penyesalan ini” ucapnya
sambil mengaktifkan benda tersebut.
Sebuah lagu dari Armada baru saja diluncurkan,
sekarang hanya terdengar suara Ahyar yang lagi kirim-kirim salam dan membacakan
pesan dari pasien-pasiennya. Fara pun segera mengetik pesan dan mengirimkan ke
nomor radio tersebut.
Satu minggu.
Dua minggu.
Tiga minggu.
Menunggu jawaban dalam waktu tiga minggu bukanlah hal
yang mudah bagi Fara. Setiap pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00 selama tiga
minggu itu Fara menjadi pendengar
setianya Ahyar si penyiar radio. Selama tiga minggu itu pula Fara selalu
mengirimkan pesan indah serta meminta sebuah lagu yang hanya ditujukan pada
Randy.
“Rindu
yang bersemayam di hatiku, semakin hari semakin menggebu. Inginku menatap lagi
mata yang sempat menggetarkan hatiku, inginku melihat kembali senyum yang telah
melelahkan hatiku. Namun kau menghilang bagaikan ditelan bumi, sehingga sulit
mata ini untuk menemukan sosokmu. Kini aku sadar, mungkin keinginan itu selamanya
akan berupa keinginan, entah kapan akan terwujud dan entah sampai kapan rindu
ini menggrogoti hatiku, kurasa hanya waktu yang mampu menjawabnya”.
“Maaf
atas semua yang kulakukan padamu. Aku tahu hatimu telah tertutupi oleh sikapku
yang menyepelekan perasaanmu, sehingga sulit bagimu memaafkanku. Beribu-ribu
penyesalan telah kuungkapkan dan didengarkan oleh lebih dari seratus orang.
Masihkah engkau meragukan penyesalan dan permohonan maafku? Kumohon,
bersedialah untu kembali mewarnai hidupku”.
Itulah pesan yang ditujukan kepada Randy. Fara
berharap Randy masih setia mendengarkan radio tersebut seperti ketika hubungan
mereka masih membaik, sehingga pesan-pesan Fara dapat tersampaikan pada alamat
yang tepat. Namun, satu bulan sudah tidak ada tanda-tanda Randy menanggapi
pesannya, Fara pun mulai putus asa dengan harapannya bisa bersama Randy
kembali.
“Saat
jasad dan ruhku nanti tak lagi menyatu, akankah rasa ini tersampaikan?”
Empat puluh hari sudah Fara mengirimkan pesan ke
radio, dan kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Ahyar membuat Randy kaget
seketika. “Apa maksud dari pernyataan Fara tersebut?” pikirnya. Segera saja
Randy meraih ponselnya,
”Ra,
apa maksud dari pesanmu di radio tadi? Aku selalu mendengarkan apa yang kamu
sampaikan Ra. Tapi maaf aku tidak membalasnya. Bukan karena aku belum yakin,
tapi aku ingin tahu sejauh mana usahamu untuk mengembalikan hubungan kita.
Usahamu sudah cukup baik Ra. Akupun ingin bersamamu lagi. Jika ada waktu,
bisakah kita bertemu lagi?”
Randy terlihat panic menunggu jawaban dari Fara. Dia
memandang layar HPnya, terpampang nama Fara sedang memanggil. Segera dia
menjawab panggilan Fara, “Bagaimana Ra?”
“Nak, maafkan semua
salah Fara ya” terdengar di seberang sana seorang Ibu berkata sambil menangis.
Sebuah Cerpen dari Keterpaksaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar