Jumat, 11 Desember 2015 – Pagi-pagi sekitar
pukul 10an aku dan salah satu temanku bernama Lutfi dibuat jengkel oleh sebuah
jasa foto copy. Sekedar informasi saja, tempat foto copy (FC) ini terletak di
kecamatan *o***a***, salah satu kecamatan di kota kelahiranku, Tulungagung.
Dibuat jengkel??? Kok bisa??
Jadi ceritanya, aku dan Lutfi mau mengembalikan
buku di perpustakaan kampus kami. Nah, sebelum buku-buku itu ke tangan petugas
pengembalian buku, kami menfoto copy beberapa lembar yang kami anggap penting dulu.
Biasa, semester tua yang selalu dikejar bayang-bayang skripsweet alias skripsi
yang ada di otaknya hanyalah buku, buku, dan buku. Bagaimana caranya memperoleh
banyak buku, yah walaupun itu hanya diambil segelintir kalimat saja.
Kali ini aku sengaja tidak memilih foto copy
dekat kampus seperti biasanya. Alasannya adalah tidak mau antri lama. Tempat
foto copy yang aku sebut tadi jauh dari lembaga yang orang-orangnya kerap foto
copy kertas-kertas yang dianggap penting. Beda dengan tempat FC samping kampus yang hampir setiap
hari dipenuhi dengan mahasiswa dengan seabrek dokumen yang dicopy, entah itu
berupa buku, tugas, makalah, ataupun hanya beberapa kertas saja. Jadi, aku
berpikir urusan aku tentang perfotocopian akan cepat selesai jika di FC di tempat
itu.
Namun, nyatanya aku salah. Untuk hari ini – aku
gak tahu bagaimana kesehariannya – petugas FC tersebut tidak mengaplikasikan
bagaimana mestinya budaya antri dilaksanakan. Aku dan Lutfi yang datang lebih
awal malah dinomortigakan. Mulai dari sinilah rasa kejengkelanku muncul. Namun,
melihat yang kami FC lebih banyak dari mereka yang datang terakhir, oke kami mengalah.
Yah begitulah, kami kelewat sabar jadi orang, hahahaha.
Ternyata kejengkelan tersebut mampu menumbuhkan
kejengkelan yang lainnya. Ibaratnya rasa jengkelku mampu beranak pinak hanya di
satu lokasi. Ketika orang yang datangnya setelahku selesai urusannya dengan
petugas FC, seperti pada umumnya, orang tersebut membayar biaya FC, dan betapa
kagetnya aku ketika mendengar petugas FC berkata, “Enam ribu mbak”. Sontak aku
langsung menatap Lutfi dengan tatapan “Kok mahal?”
“Heh?” Lutfi berbisik padaku tanda dia meminta
kejelasan dari tatapanku. Aku yang dari tadi menguping banyaknya lembar yang
diFC oleh orang tersebutpun menjelaskan bahwasanya 18 lembar ditambah print
satu lembar harganya 6 ribu rupiah. Jadi aku perkirakan per lembarnya adalah Rp
300,00.
Oh NO NO NO !!!!!
Padahal di dekat kampus saja paling mahal Rp 200,00.
Itupun kualitas kertasnya juga lebih bagus dari tempat FC yang berinisial K
tersebut. Aku pun membayangkan, berapa lembar rupiah kah yang harus aku
keluarkan untuk segelintir kertas yang memuat banyak ilmu tersebut?? Mengingat
harga yang sangat luar biasa, akhirnya dengan sangat ikhlas satu buku milik
Lutfi tidak diFC sekalian, mendingan dibawa ke dekat kampus saja yang lebih
bersahabat.
Setelah menunggu banyak menit, tibalah giliran
kami untuk melaksanakan pembayaran. Terhitung punya temanku yang hanya sekitar
30an lembar dihargai 10ribu. Demi sebuah kepastian, aku pun bertanya berapa
harga per lembar yang telah ditetapkan toko tersebut.
“300 mbak. Tapi ini tadi diperkecil jadinya 400
per lembar” jawab petugas FC sambil menunjuk FC punyaku.
Apa-apaan ini??? Lebih kecil lebih mahal??
Helloo aturan siapa lagi??? Maaf, mangkel alias jengkelku sudah sampai puncak.
Tidak mau merasakan jengkel yang berlebih,, segera aku membayar dan
meninggalkan tempat FC tersebut serta berniat untuk tidak mengulangi lagi kebodohan
FC di tempat tersebut.
Di perjalanan, aku terus protes, teori
bisnisnya siapa yang dipakai? Biasanya, sepengetahuanku, orang kalau mau
bisnisnya lancar itu, harga produk yang dijual atau harga jasa yang diberikan itu lebih terjangkau dari
yang lainnya. Karena konsumen pasti lebih tertarik dengan harga yang lebih
bersahabat dengannya. Lha itu tadi??? Makanya tidak heran kalau tempat FC tersebut
sepi alias hanya sedikit yang mengunjungi tempat itu.
Berapapun tingginya penyesalan dan
kejengkelanku tidak mengubah harga yang diberikan pada kami, nasi telah menjadi
bubur dan memang bukan penyesalan namanya jika terjadi di depan. Namun, di
balik itu semua ada pelajaran berharga yang dapat aku petik, yakni mengetahui
harga sebelum memutuskan untuk membeli adalah diharuskan. Dengan demikian tidak
ada yang merasa dirugikan dari sebuah transaksi. Dari sini kami sadar, bodohnya
kami yang tidak bertanya berapa harga yang ditetapkan oleh tempat FC yang belum
kami kenal tersebut.
Dari sini aku pun tersadar bahwa aturan Islam
itu pasti memberikan yang terbaik. Misalnya itu tadi mengenai transaksi jual
beli. Islam mengatur dalam kegiatan transaksi jual beli harus ada aqad atau
persetujuan antara penjual dan pembeli sehingga tidak ada yang dirugikan setelahnya.
Jadi, lain kali jangan asal membeli saja ya sob??? hehehe
Weh weh weh harga fc perlembarnya kebangetan tuh :D
BalasHapusSemangat nyusun skripshit *eh* skripsinya ya :)
Iya, didoakan saja semoga lekas sadar, cepat bangun dari pingsan nya, :D *lol*
HapusIya, syukron :)