Awal bulan, 1 Agustus 2016 saat jarum jam
menunjukkan pukul 12.30 jari jemariku lagi asyik menari di atas tuts-tuts
angka. Sayangnya, kedatangan seorang perempuan menghalangiku mengetahui jumlah
uang yang masuk kemarin.
“Mas nya gak ada to?” tanyanya tiba-tiba dengan
helm masih bertengger di kepala.
Aku menggeleng.
“Minta nomornya kalau begitu”
“Gak punya mbak”
“Mbaknya, punya?”
“Punya” jawabku sambil membuka HP mencari nama
yang dimaksudnya.
Lisanku mengeja dan jarinya mengetik nomor hp
tersebut ke HP putihnya.
“Siapa lho mbak?” tanyaku.
“Dulu mbaknya pernah buka apotik juga di
Gondang” jelasnya singkat.
Aku hanya mengangguk sedikit bingung dengan apa
yang ia katakan. Siapa sih orang ini, kok bisa bilang tentang bos ku seperti
itu. Padahal, selama beberapa bulan di sini, tidak ada cerita yang menyebutnya
seperti itu.
“Hallo mbak, nanti bagaimana aku? Ini aku sudah
ada di apotikmu” dia memulai pembicaraannya via telepon dan aku hanya
melihatnya sambil menebak-nebak ke arah mana percakapan itu.
“Madu, mbak” datangnya seorang bapak membuatku
meninggalkan si mbak-mbak hitam gendut yang sedang asyik berbicara.
Kuambilkan sebotol madu yang bapak minta itu.
Si bapak memberiku uang dan langsung pergi membawa madunya. Kemudian datanglah
seseorang membeli pimtracol .
“Iya, mbak e masih melayani pembeli” begitulah kalimat
si mbak hitam yang aku dengar ketika aku mengambilkan pimtracol.
Pembeli pimtracol sudah pergi dan menyisakan si
mbak hitam yang masih setia dengan hp yang menempel di telinganya. Sedang aku
kembali duduk manis mendengarkan dia berbicara.
“Iya, kayaknya mbak nya ini belum pernah
melihat aku” katanya. “Masih lihat aku pertama ini ya mbak?” tanyanya kepadaku
memastikan yang hanya kujawab dengan senyum dan anggukan.
“Ada uang lima ratus?” tanyanya padaku tetap
belum melepaskan hp nya yang menyepit dalam helmnya.
“Gak ada” jawabku.
“Gak ada, mbak” katanya pada mbak bos ku yang
ditelpon seperti menyampaikan pesanku.
“Adanya uang kemarin”.
“Uang kemarin mbak katanya adanya, bagaimana?”
tanyanya pada bosku. “Kalau sama hari ini ada?” lanjutnya berkata padaku,
sepertinya menyampaikan apa yang dikatakan orang di telpon itu.
Kuintip laci uang sebentar, “Iya, ada”.
“Ya sudah setelah ini aku ke sana” dia
mengakhiri teleponnya.
“Sekarang ganti kamu ya mbak yang jaga? Dulu
kan bukan kamu” jelasnya.
Aku memutar otak lagi. Hey, aku lho karyawati
pertama di toko obat ini? “Lha siapa to mbak? Apotik ini lho masih baru”
kataku.
“Dua tahun yang lalu ada apotik sebelum apotik
ini mbak” jelasnya seperti orang yang benar-benar tahu.
Hooeeee, orang mana sih ini? Omangannya gak ada
yang bener. Jelas-jelas bangunan ini bekas toko baju.
“Iya to mbak?” aku berpura-pura menanggapi
celotehnya yang abal-abal.
“Iya lho mbak” jawabnya triple yakin.
Keyakinan yang 160 % salah.
“Begini mbak tadi, saya disuruh bos mbak untuk
menukar uang 500k” lanjutnya,hp nya sudah tidak menempel di telinga. “Uang
pecah, nanti saya tukar dengan uang utuh”.
Aku memperlihatkan wajah berfikir, “Gimana lho
mbak maksudnya? Terus kalau ada uang kembalian untuk pembeli, saya pakai apa?”
“Nanti kamu ambil di rumah saya mbak, rumah
saya jual helm-helm itu lho, tahu kan?” katanya sambil menunjukkan jari telunjuknya
kea rah selatan toko.
Aku teringat dengan cerita teman saya yang juga
pernah diminta uang seseorang atas nama bosnya, yang katanya untuk pembayaran
etalase. Aku pun minta penjelasan yang sebenar-benarnya. Beberapa pertanyaan
aku lontarkan sengaja untuk menunda memberikan uangnya.
“Masa kamu tetap gak paham juga mbak” tanyanya
ketika melihat aku tak jua mengambil uang.
Ya iyalah aku gak paham, tuker uang kok gak
bawa uangnya, kataku membatin.
“Iya, paham mbak, sekarang uangnya mana?”
tanyaku kemudian.
“Gini lho mbak, nanti kamu ambil di toko helm
deket itu, sebentar saja gak apa-apa kan ninggal toko” jawabnya enteng.
“Rumahku depan warung pecel Krisna itu lho mbak”.
“Pecel Krisna mana lho mbak? Apa ada warung
pecel Krisna deket lampu merah Bandung? Adanya pecel Bima” sergahku.
“Iya itu pecel Krisna Bima itu namanya”
Aku memikirkan lagi, membayangkan
tulisan-tulisan yang terpampang di kafe Bima. Dan otakku tak juga mengingat
kata Krisna Bima dari semua tulisan di sana.
Aneh.
“Gimana mbak, aku sudah ditunggu orang sana
mbak, keburu sore lho”.
“Uangnya kok gak dibawa ta mbak?”
“Tadi saya pikir mbak mu ada, ternyata tidak
ada. Sudahlah kamu ambil saja nanti di toko helm itu”.
“Kenapa tidak kamu ambil dulu mbak? Kan cuma
dekat?”
“Aku buru-buru mbak, dibilangin sudah ditunggu,
cepetlah mbak” paksanya. “Uang 2 ribuan dibuat slametan”.
“Slametan apa lhoh mbak?” tanyaku memastikan
kalau dia benar-benar orang yang dapat dipercaya atau tidak.
“Ngirin leluhur mbak” jawabnya.
Keluarga bosku siapa ya yang meninggal? Aku kok
gak tahu info? Bukannya bosku baru saja melahirkan? Daripada uang 500k melayang
gak jelas, aku pun mengambil Samsung hitam kecilku, mengetik sebuah pesan.
“Cepat lhoh mbak, sudah jam 1 itu lho” dia
terus memaksa.
Aku tersenyum, “iya sebentar ya mbak” kataku
sambil mengetik pesan.
“Masa kamu gak percaya sama saya mbak?”
tanyanya lagi.
“Iya mbak, sebentar” jawabku tetap dengan
senyum. Ya iyalah aku curiga, kenal saja tidak akunya.
“Hallo mbak, karyawanmu kok gak percaya sama
saya mbak?” orang itu berbicara di telpon lagi.
Tuliiinnggg. 1 pesan diterima, langsung saya
buka dengan deg deg.
Uang apa? Bohong itu, saya tidak menyuruh orang
ambil uang. Jangan diberi.
Membaca pesan itu langsung membuat aku
gemeteran. Tidak ada orang sama sekali di sekitar toko. Apa yang akan dilakukan
orang ini jika saya tak mau memberinya uang? Pikiran-pikiran negatif melayang
di otakku.
“Katanya kok tidak to mbak” kataku padanya. Ada
rasa tenang karena uang tidak jadi pindah ke tangan TUTI alias tukang tipu itu.
Tapi, rasa takut juga menimpa, takut kalau orang itu nekat berbuat jahat gegara
tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Mendengar pernyataanku, wajahnya terlihat
kaget, takut, pokoknya seperti itulah, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Kok tidak bagaimana to? Mana coba SMS nya
mbak?”
Aku pun memperlihatkan pesan dari bosku
tersebut, pesan yang menyatakan kalau orang itu berbohong.
Selesai membaca, dia pun menelpon lagi,
“Berbohong gimana to mbak?”
“Gimana mbak, sudah jam 1 itu lho?”
Tetap itu saja yang dikatakan. Kemudian aku
berpikir, ada apa dengan jam 1?
“Gimana ya mbak, lha katanya mbaknya kok tidak.
Kamu salah orang mungkin mbak?” tanyaku berusaha membuatnya tidak marah.
“Enggak mbak, benar kok” katanya dengan
wajah-kalau aku boleh bilang- Ingah Ingih. “Ya sudah mbak kalau gitu, nanti
saya kesini lagi” lanjutnya.
“Iya mbak”
Berbaliklah orang itu dari hadapanku. Inginnya
aku menghafal plat motornya, sayang tidak terlihat. Kulihat punggung orang itu
dengan geleng-geleng. Kok ada-ada saja modusnya ngedapetin uang haram. Tuhan,
berilah kesadaran baginya.
Kurebahkan badanku di kursi putar. Meski ada
sisa perasaan getir, namun setidaknya sedikit lega karena aku tidak jadi
tertipu. Sungguh hebat perlindungan-Mu Tuhan. Maka nikmat mana lagi yang aku
dustakan? Kejadian ini harus aku syukuri, karena dengan lindungan-Nya aku tidak
merugikan siapapun.
Sayangnya satu, aku tidak sempat memotret sosok
tukang tipu tersebut. Jadinya ya begini, fotonya tidak terpampang di blog ini,
eh.
Jangan terlalu percaya dengan orang yang tidak
benar-benar kau kenal.
Mungkin itulah nasihat yang bisa diambil dari
cerita ku tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar