A.
Pengertian
Nasikh-Mansukh
Secara
etimologi, nasikh mempunyai beberapa
pengertian, yaitu antara lain penghilangan (izalah),
penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan,
menggantikan, mengubah, dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan
dipindahkan disebut mansukh.[1]
Atau
lebih jelasnya nasikh adalah
menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum
syara’ yang datang kemudian, sedangkan mansukh
adalah sesuatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang
kemudian itu.[2]
Kemugkinan Adanya
Nasikh dan Mansukh[3]
Baik ditinjau dari segi akal maupun
riwayat, maka perihal nasikh mansukh itu bisa saja terjadi. Hal ini sudah
disepakati para ulama, kecuali nasikh
mansukh di dalam Al-Qur’an ataupun Al-Qur’an dengan Al-hadis para ulama
masih berbeda pendapat.
Para ulama berbeda pendapat tentang
kemungkinan adanya nasikh mansukh dan dalil-dalil nash. Pada umumnya mereka
sepakat bahwa al-hadis bisa dinasakh oleh al-hadis atau oleh Al-Qur’an.
Menurut akal bisa dipahami bahwa
setiap umat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan
waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga
terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan
tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang
lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentingan, maka ketentuan hukum
yang telah ditetapkan itu dirubahnya, disesuaikan dengan situasi dan
kepentingan itu.
Misalnya perihal ketentuan kiblat
shalat, semula Nabi SAW shalat menghadap ke Baitul Maqdis kemudian dinasakh
dengan menghadap ke Masjidil Haram.
“Sesungguhnya
Nabi SAW menghadapkan wajahnya pada waktu sholat ke Masjidil Aqsha selama enam
belas bulan kemudian menggantinya ke Ka’bah”.
Jadi secara riwayat ternyata
ketentuan nasikh mansukh itu pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Syarat-syarat
Nasikh Mansukh
Syarat
bisa terjadinya nasikh mansukh adalah:[4]
1. Dalil
nasikh harus terpisah dengan dalil mansukhnya.
2. Dalil
nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil yang mansukh. Jadi dalil
Al-Qur’an hanya bisa dimansukh oleh dalil Al-Qur’an atau dalil hadis mutawatir,
karena kedudukan dalil Al-Qur’an dan hadis mutawwatir adalah sama-sama qath’i.
3. Nasikh
harus berupa dalil-dalil syara’. Kalau nasikhnya tidak berupa dalil syara’
seperti mati, maka tidak disebut dengan nasakh. Tidak adanya hukum bagi orang
yang sudah mati sudah bisa dipahami dengan akal tanpa petunjuk syara’.
4. Yang
dimansukh harus hukum syara’, sedangkan nasikhnya juga harus berupa dalil-dalil
syara’.
5. Ketentuan
hukum yang dimansukh tidak dibatasi oleh sesuatu waktu, sebab bila dibatasi
oleh waktu maka berarti dengan habisnya ketentuan waktu otomatis habis pula
ketentuan hukumnya.
Di
samping itu masih ada syarat-syarat nasakh yang belum disepakati yakni:
1. Nasikh
dan mansukh tidak satu jenis.
2. Adanya
hukum baru sebagai pengganti hukum yang dinasakh (mansukh).
3. Hukum
pengganti lebih berat daripada hukum yang diganti.
Mengenai
nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, para ulama masih ada yang berbeda pendapat.
Golongan pertama menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, artinya
ada ayat atau ketentuan hukum dalam Al-Qur’an yang dihapuskan. Alasannya adalah
berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Apa-apa yang Kami
hapuskan dari sesuatu ayat atau Kami lupakan, maka Kami datangkan yang lebih
baik daripadanya atau sepertinya. (QS. Al-Baqarah 106).
Golongan
kedua menyatakan tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Salah satu alasannya
adalah tidak ada hikmahnya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an itu, kecuali justru
menambah keraguan akan kebenaran Al-Qur’an.[5]
B.
Jenis
Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an[6]
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam,
yaitu:
1. Nasikh sharih,
yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
Umpamanya ayat tentang perang (qital)
pada surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh
orang kafir :
“Hai Nabi, katakanlah semangat
orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
kamu, pasti mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada
seratus orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu
kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti”. (QS.
Al-Anfal 65)
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus
oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat
66 dalam surat yang sama:
“Sekarang Allah telah
meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memilika kelemahan. Maka jika
ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang sabar,
mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS.
Al-Anfal 66)’
2. Nasikh dhimmy,
yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui
waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian, menghapus ayat yang terdahulu.
Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan
mati terdapat ayat-ayat berikut:
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantra kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib kerabatnya secara
makruf.” (QS. Al-Baqarah 180).
Ayat
ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadits la washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nasikh kully,yaitu
penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234,
“Orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis iddahnya, maka tiada dosa baginya (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS. Al-Baqarah 234).
Dan
dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada surat Al-Baqarah ayat 240 :
“Dan orang-orang yang akan
meninggalkan dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah sendiri, maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana”. (QS. Al-baqarah 240).
4. Nasikh juz’iy,yaitu
penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya
berlaku bagi sebagian individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq
dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur 4)
Dihapus
oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si
penuduh dalam surat yang sama ayat 6:
“Dan orang-orang yang menuduh
istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (QS.
An-Nur 6).
Dilihat
dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga
macam, yaitu:
1. Penghapusan
terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori
ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, sebuah
riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits ‘Aisyah r.a. yang mengatakan:
“Dahulu
termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan
menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh dengan lima (isapan menyusu) yang
diketahui. Kemudian Rasulullah wafat”.
Maksudnya, mula-mula ditetapkan dua orang yang berlainan ibu
sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu
kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan
sepuluh isapan ini kemudian dirubah menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau
lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termaktub di
dalam mushaf karena baik bacaanya maupun hukumnya telah di-nasikh.
2. Penghapusan
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaanya tetap ada. Contohnya, ajakan para
penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat Islam untuk saling
bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital
(peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat
berikut:
“Untukmu
agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun 6).
3. Penghapusan
terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini
biasanya diambil dari ayat rajam. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya,
sementara hukumnya tetap berlaku, berbunyi:
“Jika
seseorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah kedua . . . .”
Cerita tentang ayat orang tua berzina tersebut, diturunkan
berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’b. Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang
berbeda mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa
Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
“Seorang
pria tua dan seorag wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”.
Adapun
dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi
nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama sepakat
akan kebolehannya.
2. Nasikh
Al-Qur’an dengan As-Sunah. Bagi kalangan ulama Hanafiyyah, nasikh semacam ini
diperkenankan bila sunah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashyur.
Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku apabila sunah yang menghapusnya berupa
sunah ahad. Bila kedua jenis sunah di atas berstatus qhath’i tsubut,
sebagaimana Al-Qur’an, maka hal itu berbeda dengan sunah ahad yang bersifat
zhanny tsubut.
Keputusan kalangan Hanafiyah di atas
mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqih. Menurut
mereka, apapun jenis sunah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an,
hal itu tetaplah tidak diperkenankan. Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya
sebagai berikut, “sunah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal nasikh yang
dijanjikan Tuhan dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya
atau lebih tinggi. Dalam surat yunus ayat 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak
berhak untuk mengubah Al-qur’an atas kemauannya.surat An-nahl ayat 44
menyatakan bahwa misi Muhammad adalah
penjelas terhadap al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan
darinya, umatnya dapat mengamalkan al-Qur’an. Bila Muhammad berhak menghapus
ketentuan Al-Qur’an, nantinya yang diamalkan umat bukan lagi Al-Qur’an, tetapi
As-Sunah. Ini berarti bertentangan dengan kandungan surat An-Nahl ayat 44.
Dengan demikian menghindari nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunah dapat menjauhi
celaan atas diri Muhammad”.
3. Nasikh
As-Sunah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, nasikh semacam ini
benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke bait
Al-Muqaddas menjadi ke Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi Asy-Syafi’i menolak
penghapusan semacam ini. Menurutnya jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan,
kemudian turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat
ketentuan baru yang sesuai dengan Al-qur’an. Jika tidak demikian akan
terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunah yang menjadi bayan Al-Qur’an
sudah dihapus.
4. Nasikh
As-Sunah dengan as-Sunah. Bagi Al-Qaththari pada dasarnya ketentuan nasikh
dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
C.
Manfaat
mempelajari nasikh mansukh
Dengan
kita mempelajari nasikh mansukh itu, kita akan mengetahui sejarah dihapusnya
sebagian ayat Al-Qur’an begitu juga sebab-sebabnya, mengetahui perkembangan
persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia.
Juga dapat digunakan sebagai pembelajaran karena untuk sekarang ini
tidak ada lagi yang namanya nasikh mansukh. Itu sudah terjadi pada zaman
sahabat-sahabat dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar