A.
Pendekatan Supervisi Pendidikan
Pendekatan
berasal dari kata approad adalah cara mendekatkan diri kepada objek atau
langkah-langkah menuju objek. Atau pola perilaku yang tepat untuk mempengaruhi
orang lain. Menurut Piet A. Suhertian bahwa suatu pendekatan pemberian
supervisi sangat tergantung kepada prototipe guru. Dengan demikian, dalam
pemilihan pendekatan supervisi pendidikan hendaknya berdasarkan prototipe
tersebut. Guru yang profesional tentunya akan beda pendekatan yang digunakan
dengan guru yang tidak bermutu.[1]
Adapun
macam-macam pendekatan supervisi pendidikan, antara lain:
1.
Pola Pendekatan Supervisi Direktif
Pada pola ini, guru yang disupervisi
tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas
mereka. Pada pola ini supervisor mengambil sepenuhnya tanggung jawab supervisi.[2]
2.
Pola Pendekatan Supervisi Nondirektif
Pendekatan ini berangkat dari premis bahwa belajar
pada dasarnya adalah pengalaman pribadi, sehingga pada akhirnya individu harus
mampu memecahkan masalahnya sendiri. Peranan supervisor disini adalah
mendengarkan, mendorong, atau membangkitkan kesadaran sendiri dan pengalaman-pengalaman guru
diklasifikasikan.[3]
Oleh karena itu, pendekatan ini bercirikan perilaku
supervisor dimana supervisor mendengarkan guru, mendorong guru, mengajukan
pertanyaan, menawarkan pikiran bila diminta dan membimbing guru untuk melakukan
tindakan. Tanggung jawab supervisi lebih banyak berada di pihak guru.[4]
|
Pola pendekatan kolaboratif ini
adalah perpaduan antar pendekatan supervisi direktif dan nondirektif. Jika
diperhatikan dari segi tanggung jawab, supervisor dan guru berbagi tanggung
jawab.[5]
B.
Menentukan Kriteria Pendekatan Supervisi
1.
Level Komitmen
Fuller
dan lainnya menemukan bahwa perkembangan guru paralel dengan perkembangan
kedewasaan. Kebutuhan pertama usia dewasa adalah perhatian terhadap
kebutuhannya sendiri sebelum beralih pada perhatian anggota kelompok terdekat
(siswa).
Para
pendidik mengindikasikan bahwa beberapa guru memiliki komitmen yang kuat dalam
mengajar, dan beberapa yang lain memiliki sedikit bahkan tidak memiliki
komitmen. Komitmen lebih luas dari sekedar perhatian, sebab mencakup waktu dan
usaha. Guru yang tidak memiliki komitmen adalah seorang yang hanya
memperhatikan dirinya sendiri, dan tidak punya keinginan untuk berkembang serta
tidak mau mengorbankan waktu dan tenaganya untuk perkembangan.[6]
Guru
dapat dilihat mengikuti kontinum komitmen mulai dari yang rendah menuju yang
tinggi.
|
|
|
|
Gambar 1. Level
Komitmen
Seseorang
dapat dengan mudah mengidentifikasi guru di sekolah atau organisasi berdasarkan
kontinum ini. Beberapa guru mungkin berada pada level paling rendah, sebagian
pada level paling tinggi, dan beberapa yang lain berada di antara kedua level.
Misalnya, guru yang memiliki komitmen sedang, akan bekerja dengan sambil lalu,
atau bekerja dengan baik bersama kelompok siswa tertentu dan menggunakan
sedikit waktu dengan yang lain. Sebagian besar guru pada level pertengahan ini.
Jika
level komitmen adalah satu-satunya variabel untuk membuktikan faktor
keberhasilan pengembangan pembelajaran, maka kita harus mulai untuk mencocokkan
pendekatan supervisi berdasarkan hal tersebut. Namun demikian, variabel penting
yang lain harus dijadikan perhatian ketika bekerja sama guru. Variabel tersebut
adalah kemampuan guru untuk berfikir abstrak.[7]
2.
Level Abstraksi
Kemampuan
guru untuk mengklarifikasi permasalahan pembelajarannya (manajemen, disiplin,
menjaga catatan, organisasi, dan sikap siswa), untuk menentukan alternatif
solusi problem tersebut, dan selanjutnya merencanakan tindakan, merupakan
proses berfikir abstrak. Hal tersebut memberikan alasan bahwa guru yang
memiliki ketrampilan untuk memecahkan persoalan dan dapat memikirkan
konsekuensi dari alternatif tindakannya, akan lebih efektif dalam melaksanakan
pengajaran sesuai dengan keinginan siswa. Guru yang tidak memiliki kemampuan abstraksi
seperti itu akan sangat terbatas dalam memilih tindakan yang sesuai. Kemampuan
berfikir yang rendah terhadap persoalan seringkali menghasilkan pengulangan
satu atau dua kali kebiasaan merespon permasalahan secara berkelanjutan, atau
membuat perencanaan yang tidak sempurna.[8]
Salah
satu pemicu atau stimulus untuk membantu seseorang berkembang menuju level
abstraksi yang tinggi adalah adanya interaksi dengan orang yang abstraksinya
lebih tinggi. Orang yang lebih tinggi tingkat abstraksinya akan dapat menciptakan
kondisi, mengatur materi dan lingkungan, serta dapat mengemukakan pertanyaan
dan ide untuk memicu siswa berfikir tentang berbagai isu dalam berbagai
perspektif. Sebagai supervisor, maka perlu memperhatikan tingkat berfikir
abstrak para guru. Guru yang memiliki tingkat abstraksi tinggi, perlu ditantang
untuk menggunakannya dan siap pada profesinya. Sedangkan bagi guru yang tidak
memiliki kemampuan, perlu didorong untuk mencapainya. Supervisor seharusnya
berfikir mengikuti kontinum berfikir abstrak.[9]
Kontinum
Berfikir Abstrak
Gambar 2. Level
berfikir abstrak
Guru
dengan tingkat abstraksi rendah tidak yakin bahwa mereka menghadapi masalah di
kelas, namun jika mereka sadar mereka sangat bingung menghadapi masalah
tersebut. Mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan, dan mereka
membutuhkan petunjuk apa yang harus dilakukan. Normalnya mereka hanya memiliki
alternatif solusi yang sangat terbatas seperti murid harus dipaksa atau diberi
PR lebih banyak tanpa memperhatikan apakah permasalahannya adalah penyimpangan
perilaku, prestasi yang rendah, atau ketidaksesuaian buku ajar.[10]
Guru
dengan tingkat abstraksi sedang biasanya dapat mendefinisikan problem
berdasarkan pada apa yang mereka lihat. Mereka dapat menentukan satu atau dua
alternatif solusi, namun kesulitan merumuskan solusi tersebut dalam perencanaan
yang komprehensif. Misalnya, jika banyak siswa yang tidak lulus dalam pelajaran
kimia, guru dengan abstraksi rendah cenderung menyelesaikan masalah tersebut
dengan memberikan paket remedial yang ditulis dalam bacaan sederhana. Mereka
kemudian melaksanakan paket tersebut namun tidak mampu merencanakan tindakan
selanjutnya seperti monitoring kemajuan, mengalokasikan waktu yang cukup,
menyediakan tugas lain bagi siswa yang lebih pandai, menjelaskan aturan
pelaksana remedial, dan penjelasan perlunya lebih banyak tugas individual. Guru
dengan abstraksi sedang biasanya menghadapi permasalahan baru, karena tidak
memiliki rencana antisipatif.[11]
Guru
dengan tingkat berfikir abstrak tinggi dapat melihat permasalahan dalam
berbagai perspektif (perspektif mereka sendiri, perspektif siswa, perspektif
orang tua, dan perspektif administrator) dan dapat menemukan berbagai
alternatif pemecahan. Mereka dapat memikirkan keuntungan dan kerugian dari
masing-masing rencana dan memutuskan berdasarkan pemikiran tersebut. Mereka
segera merubah rencana jika konsekuensi yang diharapkan tidak terwujud. Dalam
membuat perencanaan, mereka dapat menetapkan problem-problem lain yang muncul
dan menyiapkan rencana antisipatif.
C. Mempertemukan Beberapa Variabel
Untuk Menetapkan Kriteria
Dengan
menggunakan dua variabel (level komitmen dan level abstraksi) supervisor dapat
melakukan analisis terhadap individu guru. Analisis dapat disempurnakan dengan
mempertemukan dua garis kontinum, yakni kontinum komitmen dari rendah ke
tinggi, dan kontinum abstraksi dari rendah ke tinggi. Jadi sebagaimana tampak
dalam gambar 3, terdapat empat kuadran yang menunjukkan tipe-tipe guru. Tentu
saja tidak semua guru dapat dimasukkan dalam empat kuadran, namun kuadran
tersebut dapat digunakan supervisor untuk melihat perbedaan karakteristik guru.[12]
|
|
|
|||||||
|
|||||||
|
|||||||
|
|
|
|
Gambar 3. Kategori
tipe guru
Kuadran I : adalah
guru yang level komitmennya rendah dan level abstraksinya juga rendah. Dia
dikategorikan sebagai guru-droupout. Dia bekerja hanya sekedar untuk
melaksanakan kewajiban saja. Dia juga kurang memiliki motivasi untuk
mengembangkan kompetensinya. Lebih jauh lagi, dia tidak dapat berfikir
perubahan apa yang harus dilakukan dan sudah puas dengan pekerjaan rutin
sehari-hari. Dia selalu menyalahkan orang lain. Dalam pandangan guru seperti
ini, yang membutuhkan bantuan adalah siswa dan administrator, sedangkan guru
tidak pernah butuh bantuan. Dia mulai kerja tepat waktu dan pulang secepat
mungkin.[13]
Kuadran II :
Guru yang tingkat komitmennya tinggi namun tingkat abstraksinya rendah. Dia
adalah guru yang antusias, energik, dan selalu penuh perhatian. Dia selalu
berusaha untuk menjadi guru yang lebih baik, dan ingin membuat kelasnya lebih
menarik dan relevan dengan siswa. Dia bekerja dengan keras dan biasanya membawa
pekerjaan ke rumah. Sayangnya, perhatiannya yang baik tidak didukung oleh
kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan dengan realistis. Guru seperti ini
dikategorikan sebagai guru yang tidak fokus. Dia selalu terlibat dalam banyak
proyek dan aktivitas, tapi dia mudah merasa bingung, berkecil hati, dan
menjeburkan diri dalam tugas yang menumpuk. Hasilnya, guru seperti ini jarang
dapat menyelesaikan tugasnya sebelum menerima tugas yang baru.[14]
Kuadran III :
adalah guru yang tingkat komitmennya rendah namun tingkat abstraksinya tinggi.
Dia adalah guru yang cerdas, penuh dengan ide-ide cemerlang tentang apa yang
harus dilakukan di kelas, di luar kelas maupun di dalam sekolah. Dia dapat
mendiskusikan isu yang muncul secara gamblang dan dapat berfikir dengan membuat
tahapan-tahapan penting untuk dilaksanakan dengan baik. Guru seperti ini
dikategorikan sebagai pengamat analitis, karena ide-idenya seringkali tidak
terlaksana. Dia tahu apa yang harus dilakukan, namun dia tidak mau mengorbankan
waktu dan tenaganya serta tidak peduli pada apa yang telah direncanakan.[15]
Kuadran IV :
adalah guru yang tingkat komitmen dan abstraksinya sama-sama tinggi. Dia
benar-benar guru yang profesional, komit terhadap pengembagan diri secara terus
menerus, pengembangan siswa, dan sesama guru. Dia mampu memikirkan tugasnya,
mempertimbangkan alternatif yang ada, mampu menentukan pilihan dengan rasional,
dan mengembangkan serta melaksanakan perencanaan yang matang. Dia dianggap
sebagai pimpinan informal, dan orang lain ingin minta bantuannya. Tidak hanya
karena memiliki banyak ide, aktivitas, dan sumber daya, namun orang seperti ini
selalu terlibat aktif dalam merancang perencanaan dengan sempurna. Dia adalah
pemikir sekaligus pelaksana.
Dengan
memfokuskan pada dua variabel tersebut, supervisor dapat memulai untuk berfikir
bahwa individu guru memiliki perbedaan perkembangan. Guru dapat diarahkan
dengan berbagai cara untuk membantu mereka mengembangkan tingkat komitmen dan
abstraksi ke arah yang lebih tinggi. Pertama kali supervisor harus bekerja
bersama mereka sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Mengingat bahwa secara
implisit karakteristik perilaku supervisi mengikuti kontinum, maka tujuan
supervisi adalah selalu meningkatkan perilaku tersebut. Hal tersebut dilakukan
sebagai kontrol supervisor dalam memperbaiki sistem pengajaran dan sebagai
pedoman bagi guru mengembangkan perilaku guru dan mengontrol dirinya sendiri.
Hal ini tidak berlangsung selamanya. Pada beberapa guru yang mau terbuka, tidak
akan terjadi masalah. Pada beberapa guru yang lain mungkin membutuhkan waktu
satu sampai tiga tahun. Dan pada sebagian yang lain mungkin sudah siap untuk
mengontrol dirinya sendiri (self-direction). [16]
Gambar 4.
Kontinum perilaku supervisi pengembangan
Skema
di atas, dapat dijadikan sebagai titik awal bagi supervisor bersama dengan guru
untuk menentukan pendekatan supervisi yang cocok. Guru dropout lebih
cocok menggunakan pendekatan direktif, pengamat analitis lebih cocok dengan
pendekatan kolaboratif dengan menekankan pada negoisasi, guru yang tidak fokus
lebih tepat menngunakan kolaboratif dengan menekankan pada presentasi ide dari
supervisor, sedangkan profesional lebih cocok dengan pendekatan supervisi
nondirektif.
[2] W. Mantja, Profesionalisme
Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran, Kumpulan
Karya Tulis Terpublikasi, (Malang: Elang Mas, 2007), hlm. 113.
[4] Sri Benun
Muslim, Supervisi Pendidikan Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru,(Bandung:
Alfabeta, 2009), 80
[5] Ibid, hlm.
116.
[6] Luk-luk Nur
Mufidah, Supervisi . . . , hlm. 73.
[7] Ibid, hlm.
74.
[8] Ibid, hlm.
75.
[9] Ibid, hlm.
76.
[10] Ibid, hlm.
77.
[11] Ibid, hlm.
78.
[12] Ibid, hlm.
79.
[14] Ibid, hlm.
80.
[15] Ibid, hlm.
81.
[16] Ibid, hlm.
82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar