Lintang, aku adalah Langit. Langit yang senantiasa menaungimu, mendekapmu, memayungimu hingga pagi tiba. Andaipun mentari memaksamu pergi, bukankah ada Senja yang selamanya mempertemukan kita?
Itu
bukan gombal, melainkan fakta. Sunnatullah, bahwasanya kehadiran senja
merupakan pertanda akan bertemunya langit dengan lintang yang selalu menerangi
dan menghiasinya saat malam tiba. Dan mbak Ririn berhasil memanfaatkan kejadian
alam itu untuk alur dan kisah dalam novel bercover merah itu.
Novel Lintang Langit pada Senja |
Berbeda
dengan Senja, Langit dan Lintang adalah dua mahasiswa yang batinnya terluka itu
lebih memilih cara setan untuk memuaskan nafsunya. Merokok, minuman keras, dan
berpesta di club malam adalah cara mereka melupakan masalah. Sebuah cara
melupakan yang tidak membuat pelakunya benar-benar lupa. Perih batinnya mungkin
terobati dengan cara itu, namun itu hanyalah sebentar saja. Jika obat bius
tersebut habis, pasti sakit yang menghampiri akan lebih parah.
Lintang
dan Langit adalah sepasang kekasih laiknya bintang gemintang di langit, saling
melengkapi. Dua insan yang bisa menyatu karena sama-sama mempunyai luka batin.
Sayang, suatu saat mereka harus berpisah karena dipaksa oleh keadaan keluarga Langit.
Sejauh apapun mereka berpisah, mereka pun akhirnya bertemu kembali karena
Senja. Ya, Senja lah yang mempertemukan Langit pada Lintang yang selalu
menghiasi hatinya. Bahkan, Senja juga lah yang membantu mereka menemukan cahaya
hidayah sang Illahi.
Mereka, yang awalnya jauh dari ilmu agama menjadi dua
orang pendakwah dengan caranya sendiri-sendiri.
Senja,
mengingatkanku pada Fara. Tokoh ciptaanku dalam cerpen Taaruf Cinta yang
menuntun Hamzah untuk menjadi manusia yang lebih baik menurut agamanya untuk
kemudian bisa ditularkan kepada orang lain. Namun, Sarah tetaplah Sarah. Kisah
hidupnya masih sangat jauh bagusnya dibandingkan kisah Senjanya mbak Ririn,
penulis produktif yang telah banyak melahirkan karya-karya hebat nan islami.
Baca
juga : Cerpen Taaruf Cinta
Kisah
mereka bertiga mengajarkan apa artinya hidup ini dan bagaimana cara menghadapi
setiap masalah yang menghampiri. “Harga kehidupan kita bergantung dari
kemampuan kita menerima kehidupan itu sendiri. Semakin kita bisa ikhlas dan
lapang, semakin berhargalah hidup yang kita miliki” begitulah penulis
memotivasi pembaca agar tidak selalu rapuh dalam menghadapi dan menjalani hidup
yang kadang tidak mudah. Bukankah Allah tidak menguji hamba-Nya di luar
kesanggupannya?
Baca juga : Ridha
Begitulah
hidup. Gobind menyatakan bahwa tangan manusia menggenggam ketika lahir dan
tidak ada tangan yang mencengkeram ketika mati. Karena memang hidup adalah
perjalanan untuk melepas, bukan mendapatkan. Lalu bagaimana seharusnya kita
menghadapi hidup yang hakikatnya melepaskan itu? Menjadi pelepas yang selalu
ridha lah jawabannya. Selalu menerima apa yang telah ditetapkan Allah kepada
kita dengan syukur dan sabar. Mungkin kadang kita akan mengeluh jika hidup
tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun buat apa kita mengeluh? Toh, keluhan
kita tidak akan mengubah keadaan, yang ada malah membuat diri semakin rapuh dan
rapuh. Tidakkah kita ingat bahwa skenario Allah adalah skenario yang paling
indah? Percayalah, tidak akan rugi bagi orang-orang yang selalu bersabar dan
berjalan sesuai dengan jalan-Nya.
Judul : Lintang Langit pada Senja
Penulis : Ririn Astutiningrum
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Cetakan pertama, 2017
makasih reviewnya , belum baca
BalasHapusTerimakasih kak sudah mampir 😌
Hapus