Kamis, 13 Februari 2014

Perkembangan Jiwa Keagamaan Masa Remaja



A.     Sikap remaja terhadap agama.
Perasaan remaja dalam beragama memang dapat dipengaruhi oleh perasaan beagama yang didapat dari masa sebelumnya dan lingkungan dimana ia tinggal. Bagi remaja yang tidak beruntung mempunyai orang tua bijaksana yang mampu memberikan bimbingan agama pada waktu kecil, maka usia remaja akan dilaluinya dengan berat dan sulit.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Perasaan beragama pada remaja khususnya terhadap Tuhan tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang. 
Sikap remaja terhadap agama  menurut Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut:
1.      Percaya dengan turut-turutan.
Kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama hanya karena lingkungannya yang beragama, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar dengan suasana lingkungan di mana ia hidup. Percaya seperti inilah yang disebut dengan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak amau aktif dalam kegiatan-kegiatan agama.[1]

2.      Percaya dengan kesadaran.
Kesadaran beragama bagi remaja akan timbul dengan baik apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka  diterima dengan akal sehat, dengan teliti dan kritik berdasarkan ilmu pengetahuan. Biasanya percaya dengan kesadaran ini terjadi pada masa remaja akhir, yang memang sejak masa kecilnya sudah dibiasakan untuk melaksanakan ajaran agama.[2]

3.      Percaya dengan ragu-ragu
Golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, yaitu apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka semenjak kecil lebih bersifat otoriter, paksaan untuk mengamalkannya, sehingga pada masa remajanya terjadi perberontakan terhadap sifat otoriter tersebut.[3]

4.      Tidak percaya sama sekali (cenderung atheis)
Golongan remaja  ini bermula dari golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, makin lama keraguannya semakin bertambah sehingga semakin jauh dari ajaran agama. Salah satu penyebabnya adalah bertumpuknya perasaan kecewa karena dorongan atau keinginan yang tidak terpenuhi, sehingga berakibat pesimis dan putus asa. Bagi remaja yang kurang meresap nilai agamanya dalam jiwanya lambat laun akan menjadi marah dan benci terhadap agama karena ia memandang agama sebagai penghalang hawa nafsunya dalam mencapai kepuasaan hidupnya.[4]

B.     PERKEMBANGAN JIWA AGAMA REMAJA
1.    Pra-Remaja (Puber/Negatif) (13-16 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada usia pra-remaja atau disebut masa puber atau kemkratu/negatif, kedua ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Secara singkat perkembangan jiwa agama pra-remaja, yaitu: 1) Ibadah karena pengaruh keluarga, teman, lingkungan, dan peraturan sekolah, 2) Kegiatan agama lebih banyak dipengaruhi emosional dan pengaruh luar.[5]


2.    Remaja Awal (16-18 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada remaja awal adalah menerima ajaran dan perilaku agama dengan dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan  jiwa agama pada remaja awal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
a.       Timbul kesadaran untuk melihat dirinya sendiri.
Dengan semakin matang organ jasmani yang diiringi kematangan emosi maupun pikiran maka para remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri, baik kekurangannya, kelebihannya maupun masa depannya. Kesadaran akan dirinya sendiri ini akan mengarahkan mereka juga berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku agama.[6]
b.      Timbul hasrat tampil ke depan umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Remaja Masjid (Remas), mengelola TPA/TPQ dan sebagainya. Keterlibatan remaja awal dalam berbagai kegiatan agama tidak semata-mata karena mengharapkan pahala atau sebagai penebus dosa atas perbuatan jahatnya, tetapi juga didorong kuat oleh hasratnya untuk tampil ke depan umum agar mendapatkan pengakuan atau status sosial. Dengan mendapatkan pengakuan atau status sosial yang semakin meningkat maka akan mendorong remaja semakin percaya diri serta merasakan kepuasan batin.[7]
c.       Teriring dengan semakin mantapnya jiwa agama remaja awal maka tumbuh semangat dalam melakukan agama, yaitu semangat positif yang diwujudkan dalam perilakunya menjauhkan diri dari bid’ah dan kurafat seprti tidak suka datang ke dukun, ataupun menggunakan jimat-jimat, namun lebih kepada ajaran agama yang bersifat formal. Sebaliknya bagi sebagian remaja yang tidak memiliki berbagai kelebihan, utamanya dalam ilmu pengetahuan agama yang memadahi atau kesempatan tampil ke depan umum secara rasional tidak terpenuhi maka mendorong sekelompok remaja melakukan perilaku negatif, yaitu semangat khurafi, senang jimat, kekebalan tubuh, dan sebagainya. Dengan semangat khurafi seperti suka melakukan ritual di tempat-tempat tertentu maupun menggunakan jimat dan ilmu kekebalan tubuh, mereka sebenarnya mengharapkan dengan berbagai kelebihannya tersebut bisa diterima dan diakui oleh masyarakat sebagai orang hebat.[8]

3.    Remaja Akhir (18-21 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik tetapi malah semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir semakin menurun karena diliputi oleh dorongan seksual yang kuat dan belum ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat yang sering kali melanggar norma-norma agama. Kondisi tersebut yang menyebabkan ajaran-ajaran agama yang dipelajari dan dilakukan sejak kecil mulai mengalami masa penurunan pada usia remaja akhir ini. Terkait dengan masalah ini, Dr. Al Malighy menemukan keraguan remaja dalam hal agama pada usia 17-20 tahun. Dengan demikian ada beberapa karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir yaitu:[9]
a.       Percaya tapi penuh keraguan dan bimbang.
b.      Keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
c.       Dapat mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang diterima waktu kecil.

Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun (adolescence). Pada usia akhir remaja, maka seseorang mengarah pada semakin tidak percaya sama sekali (peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal itu ditandai dengan:[10]
1)     Mengingkari wujud Tuhan dan ingin mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya masih percaya,
2)     Bila usia sebelumnya tidak mendapat pendidikan agama maka remaja usia ini dapat mengarah ke ateis. Dr. Al Malighy menemukan mahasiswa jurusan sastra dan filsafat di Amerika Serikat lebih condong kepada ateis.

Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat  adalah:[11]
a.      Pertumbuhan pikiran dan mental.
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

b.      Perkembangan perasaan.
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam kehidupannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.



c.      Pertimbangan sosial.
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara perkembangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.

d.      Perkembangan moral.
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

e.      Sikap dan minat.
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.        Ibadah.
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa remaja yang menganggap sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi lebih banyak daripada remaja yang mengatakan sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.


C.     Perkembangan Moral Remaja dan Hubungannya dengan Agama.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Dalam hal ini Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi harus diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang peneliti ilmu jiwa agama harus mempelajari pula dinamika dan perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama dalam moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Kita akan melihat betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih jelas, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :[12]
1.      Tuhan sebagai penolong moral.
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
2.      Pengertian surga dan neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran pembalasan atau lambang kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.

3.      Pengertian tentang malaikat dan setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga dengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa

D.    Masalah Mati dan Kekekalan bagi Remaja
Pada masa remaja telah dapat dipahami bahwa mati itu adalah suatu hal yang tak dapat dihindari oleh setiap diri, bahkan mati itu adalah fenomena alamiah yang harus terjadi. Pemikiran remaja tentang mati dalam hal ini terdorong oleh kepentingan emosi yang dirasakannya.
Pada masa remaja pengertian tentang mati telah lebih meluas dan mendalam, sehingga ia memandangnya sebagai suatu fenomena umum yang wajar, yang akan menimpa semua orang dan juga dirinya sendiri, bahkan akan terjadi atas seluruh makhluk. Mereka tidak dapat menghilangkan kegelisahan mereka mengenai :[13]
1.      Takut berpisah dengan keluarganya. Takut ditinggalkan oleh ibu, atau bapak, bukan saja takut akan kehilangan sandaran emosi, tapi yang lebih penting ialah takut menghadapi kesukaran-kesukaran yang akan datang.
2.      Takut dirinya akan mati karena :
a.       Berpisah dengan orang-orang yang disayangi dan khawatir meninggalkan mereka.
b.      Rasa dosa, takut bertemu dengan Allah, seolah-olah takut mati itu sebenarnya adalah takut akan hukuman akhirat.
c.       Takut mati karena ambisinya. Pada masa remaja ambisi adalah suatu cirri khasnya. Remaja lebih banyak khayalan dan cita-cita serta takut tidak akan tercapai cita-cita itu.

Percaya akan adanya akhirat, keyakinan itu akan mengurangkan kecemasan terhadap mati, dengan mengalihkan kegelisahan-kegelisahan takut mati, kepada sesuatu yang berhubungan dengan itu, yaitu neraka dengan apinya yang menyala atau surga dengan nikmatnya, atau yang berarti timbulnya pengertian tentang pembalasan yang akan berakhir dengan kecenderungan kepada berkuasanya yang baik, hal ini akan mengurangkan kegelisahannya terhadap soal-soal mati,dan dapatlah ia menghadapi hidup ini. Jika kegelisahan itu bertambah, maka hidup ini tidak akan dirasakan berarti lagi. Maka takut akan neraka dan harap akan surga dalam ajaran agama, memainkan peranan penting dalam mengurangkan kecemasan akan mati.[14]
Setelah mati diakui dan diterima oleh remaja, maka ada diantaranya yang ingin mati, mungkin hal ini sebenarnya gambaran negative dari takut mati atau hanya ingin lari dari kesukaran-kesukaran hidup yang dihadapinya. Bahkan ada orang yang seolah-olah menghadang mati, sebenarnya ia ingin kekal dalam bentuk apapun.[15]

E.     Pembinaan Agama Pada Remaja
Semua perubahan jasmani yang begitu cepat pada masa remaja menimbulkan kecemasan pada dirinya, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas, perasaan kepada Tuhan tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya, kadang-kadang ia merasa membutuhkan Tuhan, terutama ketika mereka menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa dosa. Tapi ia kadang-kadang tidak membutuhkan Tuhan, ketika mereka sedang senang, siang, dan gembira.[16]
Hendaknya guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan segala keinginan, dorongan, dan ketidakstabilan kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga kegoncangan perasaan dapat diatasi.[17]
Perlu pula diingat oleh guru agama bahwa perkembangan kecerdasan remaja, telah sampai kepada mampu memahami hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu mengambil kesimpulan dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya. Maka pendidikan agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya. Apa yang dulu waktu masih kanak-kanak dapat diterimanya tanpa bertanya, tapi pada usia tersebut, remaja akan sering bertanya atau meminta penjelasan tentang ajaran agama yang masuk akal. Karena mereka tidak dapat menerima apa yang tidak dapat dimengertinya, para remaja pada umur tersebut, seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang kadang-kadang sukar bagi guru agama untuk menjawabnya. Guru yang tidak mengerti perkembangan jiwa remaja, akan menyangka bahwa peserta didiknya tidak mau menerima keterangannya, atau mencari-cari soal yang memojokkannya, lalu ia marah, atau menjawab dengan hukum dan ketentuan agama yang tegas, yang harus diterima dan dipatuhi, kalau tidak, akan berdosa, masuk neraka dan sebagainya. Guru agama yang seperti itu, tidak akan berhasil menumbuhkan minat peserta didik kepada pendidikan agama, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya, di mana guru agama akan menjadi kurang dihargai oleh peserta didik dan selanjutnya penanaman dan pembangunan jiwa agama pada peserta didik tidak atau kurang berhasil.[18]
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa guru agama hendaknya dapat memahami betul perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh remaja dan memiliki metode yang cocok dalam melaksanakan pendidikan agama. Pendidikan agama akan dapat dilaksanakan dengan berhasil dan berguna apabila guru agama mengetahui perkembangan jiwa yang dilalui oleh anakdan remaja, pertumbuhan anak dari lahir sampai kepada masa remaja terakhir melalui berbagai tahap dan masing-masing mempunyai ciri dan keistemewaan sendiri-sendiri. Setiap tahap merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya, dan akan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yang akhirnya mencapai kematangan. Pendidikan agama harus memperhatikan ciri dari masing-masing tahap itu dan dapat mengisi serta mengembangkan kepribadian masing-masing peserta didik.[19]


[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama , Jakarta, PT Bulan bintang , 2003, hlm 106.

[2] Ibid, hlm 107.
[3] Ibid, hlm 114.
[4] Ibid, hlm 118.
[5] Bahruddin dan Mulyono, Psikologi Agama Dalam Perspektif Islam, Malang, UIN-Malang Press, 2008, hlm 38.
[6] Ibid, hlm 138.
[7] Ibid, hlm 139.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm 140.
[10] Ibid.
[11] Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama, Bandung, PT.Mizan Pustaka, 2003, hlm 74-77.
[12] Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. . ., hlm 101.
[13] Ibid,  hlm 89.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Bahruddin dan Mulyono, Psikologi Agama. . . , hlm 141.
[17] Ibid.
[18] Ibid, hlm 142.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Like Me :)

Perkembangan Jiwa Keagamaan Masa Remaja



A.     Sikap remaja terhadap agama.
Perasaan remaja dalam beragama memang dapat dipengaruhi oleh perasaan beagama yang didapat dari masa sebelumnya dan lingkungan dimana ia tinggal. Bagi remaja yang tidak beruntung mempunyai orang tua bijaksana yang mampu memberikan bimbingan agama pada waktu kecil, maka usia remaja akan dilaluinya dengan berat dan sulit.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Perasaan beragama pada remaja khususnya terhadap Tuhan tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang. 
Sikap remaja terhadap agama  menurut Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut:
1.      Percaya dengan turut-turutan.
Kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama hanya karena lingkungannya yang beragama, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar dengan suasana lingkungan di mana ia hidup. Percaya seperti inilah yang disebut dengan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak amau aktif dalam kegiatan-kegiatan agama.[1]

2.      Percaya dengan kesadaran.
Kesadaran beragama bagi remaja akan timbul dengan baik apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka  diterima dengan akal sehat, dengan teliti dan kritik berdasarkan ilmu pengetahuan. Biasanya percaya dengan kesadaran ini terjadi pada masa remaja akhir, yang memang sejak masa kecilnya sudah dibiasakan untuk melaksanakan ajaran agama.[2]

3.      Percaya dengan ragu-ragu
Golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, yaitu apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka semenjak kecil lebih bersifat otoriter, paksaan untuk mengamalkannya, sehingga pada masa remajanya terjadi perberontakan terhadap sifat otoriter tersebut.[3]

4.      Tidak percaya sama sekali (cenderung atheis)
Golongan remaja  ini bermula dari golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, makin lama keraguannya semakin bertambah sehingga semakin jauh dari ajaran agama. Salah satu penyebabnya adalah bertumpuknya perasaan kecewa karena dorongan atau keinginan yang tidak terpenuhi, sehingga berakibat pesimis dan putus asa. Bagi remaja yang kurang meresap nilai agamanya dalam jiwanya lambat laun akan menjadi marah dan benci terhadap agama karena ia memandang agama sebagai penghalang hawa nafsunya dalam mencapai kepuasaan hidupnya.[4]

B.     PERKEMBANGAN JIWA AGAMA REMAJA
1.    Pra-Remaja (Puber/Negatif) (13-16 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada usia pra-remaja atau disebut masa puber atau kemkratu/negatif, kedua ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Secara singkat perkembangan jiwa agama pra-remaja, yaitu: 1) Ibadah karena pengaruh keluarga, teman, lingkungan, dan peraturan sekolah, 2) Kegiatan agama lebih banyak dipengaruhi emosional dan pengaruh luar.[5]


2.    Remaja Awal (16-18 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada remaja awal adalah menerima ajaran dan perilaku agama dengan dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan  jiwa agama pada remaja awal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
a.       Timbul kesadaran untuk melihat dirinya sendiri.
Dengan semakin matang organ jasmani yang diiringi kematangan emosi maupun pikiran maka para remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri, baik kekurangannya, kelebihannya maupun masa depannya. Kesadaran akan dirinya sendiri ini akan mengarahkan mereka juga berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku agama.[6]
b.      Timbul hasrat tampil ke depan umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Remaja Masjid (Remas), mengelola TPA/TPQ dan sebagainya. Keterlibatan remaja awal dalam berbagai kegiatan agama tidak semata-mata karena mengharapkan pahala atau sebagai penebus dosa atas perbuatan jahatnya, tetapi juga didorong kuat oleh hasratnya untuk tampil ke depan umum agar mendapatkan pengakuan atau status sosial. Dengan mendapatkan pengakuan atau status sosial yang semakin meningkat maka akan mendorong remaja semakin percaya diri serta merasakan kepuasan batin.[7]
c.       Teriring dengan semakin mantapnya jiwa agama remaja awal maka tumbuh semangat dalam melakukan agama, yaitu semangat positif yang diwujudkan dalam perilakunya menjauhkan diri dari bid’ah dan kurafat seprti tidak suka datang ke dukun, ataupun menggunakan jimat-jimat, namun lebih kepada ajaran agama yang bersifat formal. Sebaliknya bagi sebagian remaja yang tidak memiliki berbagai kelebihan, utamanya dalam ilmu pengetahuan agama yang memadahi atau kesempatan tampil ke depan umum secara rasional tidak terpenuhi maka mendorong sekelompok remaja melakukan perilaku negatif, yaitu semangat khurafi, senang jimat, kekebalan tubuh, dan sebagainya. Dengan semangat khurafi seperti suka melakukan ritual di tempat-tempat tertentu maupun menggunakan jimat dan ilmu kekebalan tubuh, mereka sebenarnya mengharapkan dengan berbagai kelebihannya tersebut bisa diterima dan diakui oleh masyarakat sebagai orang hebat.[8]

3.    Remaja Akhir (18-21 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada remaja akhir ibarat grafik bukan semakin naik tetapi malah semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir semakin menurun karena diliputi oleh dorongan seksual yang kuat dan belum ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat yang sering kali melanggar norma-norma agama. Kondisi tersebut yang menyebabkan ajaran-ajaran agama yang dipelajari dan dilakukan sejak kecil mulai mengalami masa penurunan pada usia remaja akhir ini. Terkait dengan masalah ini, Dr. Al Malighy menemukan keraguan remaja dalam hal agama pada usia 17-20 tahun. Dengan demikian ada beberapa karakteristik umum perkembangan jiwa agama remaja akhir yaitu:[9]
a.       Percaya tapi penuh keraguan dan bimbang.
b.      Keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran ketimbang dikuasai emosional.
c.       Dapat mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang diterima waktu kecil.

Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun (adolescence). Pada usia akhir remaja, maka seseorang mengarah pada semakin tidak percaya sama sekali (peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal itu ditandai dengan:[10]
1)     Mengingkari wujud Tuhan dan ingin mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya masih percaya,
2)     Bila usia sebelumnya tidak mendapat pendidikan agama maka remaja usia ini dapat mengarah ke ateis. Dr. Al Malighy menemukan mahasiswa jurusan sastra dan filsafat di Amerika Serikat lebih condong kepada ateis.

Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat  adalah:[11]
a.      Pertumbuhan pikiran dan mental.
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

b.      Perkembangan perasaan.
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam kehidupannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.



c.      Pertimbangan sosial.
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara perkembangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.

d.      Perkembangan moral.
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

e.      Sikap dan minat.
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.        Ibadah.
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa remaja yang menganggap sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi lebih banyak daripada remaja yang mengatakan sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.


C.     Perkembangan Moral Remaja dan Hubungannya dengan Agama.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Dalam hal ini Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi harus diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang peneliti ilmu jiwa agama harus mempelajari pula dinamika dan perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama dalam moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Kita akan melihat betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih jelas, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :[12]
1.      Tuhan sebagai penolong moral.
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
2.      Pengertian surga dan neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran pembalasan atau lambang kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.

3.      Pengertian tentang malaikat dan setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga dengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa

D.    Masalah Mati dan Kekekalan bagi Remaja
Pada masa remaja telah dapat dipahami bahwa mati itu adalah suatu hal yang tak dapat dihindari oleh setiap diri, bahkan mati itu adalah fenomena alamiah yang harus terjadi. Pemikiran remaja tentang mati dalam hal ini terdorong oleh kepentingan emosi yang dirasakannya.
Pada masa remaja pengertian tentang mati telah lebih meluas dan mendalam, sehingga ia memandangnya sebagai suatu fenomena umum yang wajar, yang akan menimpa semua orang dan juga dirinya sendiri, bahkan akan terjadi atas seluruh makhluk. Mereka tidak dapat menghilangkan kegelisahan mereka mengenai :[13]
1.      Takut berpisah dengan keluarganya. Takut ditinggalkan oleh ibu, atau bapak, bukan saja takut akan kehilangan sandaran emosi, tapi yang lebih penting ialah takut menghadapi kesukaran-kesukaran yang akan datang.
2.      Takut dirinya akan mati karena :
a.       Berpisah dengan orang-orang yang disayangi dan khawatir meninggalkan mereka.
b.      Rasa dosa, takut bertemu dengan Allah, seolah-olah takut mati itu sebenarnya adalah takut akan hukuman akhirat.
c.       Takut mati karena ambisinya. Pada masa remaja ambisi adalah suatu cirri khasnya. Remaja lebih banyak khayalan dan cita-cita serta takut tidak akan tercapai cita-cita itu.

Percaya akan adanya akhirat, keyakinan itu akan mengurangkan kecemasan terhadap mati, dengan mengalihkan kegelisahan-kegelisahan takut mati, kepada sesuatu yang berhubungan dengan itu, yaitu neraka dengan apinya yang menyala atau surga dengan nikmatnya, atau yang berarti timbulnya pengertian tentang pembalasan yang akan berakhir dengan kecenderungan kepada berkuasanya yang baik, hal ini akan mengurangkan kegelisahannya terhadap soal-soal mati,dan dapatlah ia menghadapi hidup ini. Jika kegelisahan itu bertambah, maka hidup ini tidak akan dirasakan berarti lagi. Maka takut akan neraka dan harap akan surga dalam ajaran agama, memainkan peranan penting dalam mengurangkan kecemasan akan mati.[14]
Setelah mati diakui dan diterima oleh remaja, maka ada diantaranya yang ingin mati, mungkin hal ini sebenarnya gambaran negative dari takut mati atau hanya ingin lari dari kesukaran-kesukaran hidup yang dihadapinya. Bahkan ada orang yang seolah-olah menghadang mati, sebenarnya ia ingin kekal dalam bentuk apapun.[15]

E.     Pembinaan Agama Pada Remaja
Semua perubahan jasmani yang begitu cepat pada masa remaja menimbulkan kecemasan pada dirinya, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas, perasaan kepada Tuhan tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya, kadang-kadang ia merasa membutuhkan Tuhan, terutama ketika mereka menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa dosa. Tapi ia kadang-kadang tidak membutuhkan Tuhan, ketika mereka sedang senang, siang, dan gembira.[16]
Hendaknya guru agama memahami keadaan remaja yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan segala keinginan, dorongan, dan ketidakstabilan kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga kegoncangan perasaan dapat diatasi.[17]
Perlu pula diingat oleh guru agama bahwa perkembangan kecerdasan remaja, telah sampai kepada mampu memahami hal yang abstrak pada umur 12 tahun dan mampu mengambil kesimpulan dari kenyataan yang dilihat atau didengarnya. Maka pendidikan agama tidak akan diterimanya begitu saja tanpa memahaminya. Apa yang dulu waktu masih kanak-kanak dapat diterimanya tanpa bertanya, tapi pada usia tersebut, remaja akan sering bertanya atau meminta penjelasan tentang ajaran agama yang masuk akal. Karena mereka tidak dapat menerima apa yang tidak dapat dimengertinya, para remaja pada umur tersebut, seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang kadang-kadang sukar bagi guru agama untuk menjawabnya. Guru yang tidak mengerti perkembangan jiwa remaja, akan menyangka bahwa peserta didiknya tidak mau menerima keterangannya, atau mencari-cari soal yang memojokkannya, lalu ia marah, atau menjawab dengan hukum dan ketentuan agama yang tegas, yang harus diterima dan dipatuhi, kalau tidak, akan berdosa, masuk neraka dan sebagainya. Guru agama yang seperti itu, tidak akan berhasil menumbuhkan minat peserta didik kepada pendidikan agama, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya, di mana guru agama akan menjadi kurang dihargai oleh peserta didik dan selanjutnya penanaman dan pembangunan jiwa agama pada peserta didik tidak atau kurang berhasil.[18]
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa guru agama hendaknya dapat memahami betul perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh remaja dan memiliki metode yang cocok dalam melaksanakan pendidikan agama. Pendidikan agama akan dapat dilaksanakan dengan berhasil dan berguna apabila guru agama mengetahui perkembangan jiwa yang dilalui oleh anakdan remaja, pertumbuhan anak dari lahir sampai kepada masa remaja terakhir melalui berbagai tahap dan masing-masing mempunyai ciri dan keistemewaan sendiri-sendiri. Setiap tahap merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya, dan akan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yang akhirnya mencapai kematangan. Pendidikan agama harus memperhatikan ciri dari masing-masing tahap itu dan dapat mengisi serta mengembangkan kepribadian masing-masing peserta didik.[19]


[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama , Jakarta, PT Bulan bintang , 2003, hlm 106.

[2] Ibid, hlm 107.
[3] Ibid, hlm 114.
[4] Ibid, hlm 118.
[5] Bahruddin dan Mulyono, Psikologi Agama Dalam Perspektif Islam, Malang, UIN-Malang Press, 2008, hlm 38.
[6] Ibid, hlm 138.
[7] Ibid, hlm 139.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm 140.
[10] Ibid.
[11] Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama, Bandung, PT.Mizan Pustaka, 2003, hlm 74-77.
[12] Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. . ., hlm 101.
[13] Ibid,  hlm 89.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Bahruddin dan Mulyono, Psikologi Agama. . . , hlm 141.
[17] Ibid.
[18] Ibid, hlm 142.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Design by W-Blog