Kamis, 04 Juni 2015

Budaya Organisasi Lembaga Pendidikan Islam


A.    Pengertian Budaya Organisasi
1.      Pengertian Budaya
Edward B.Tylor dalam kutipan Sulistiyorini mengatakan, budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[1]
Dari rumusan Tylor tentang budaya tersebut, dapat diambil pengertian yang lebih jelas mengenai hakekat kebudayaan. Maka ada tiga hakekat kebudayaan yaitu: adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat, adanya proses pemanusiaan, dan di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.

2.      Pengertian Organisasi
Istilah organisasi dalam bahasa Inggrisnya “Organization” yang berarti hal yang mengatur, dan kata kerjanya “organizing” berasal dari bahasa latin “organizare” yang mengatur atau menyusun.[2]
Adapun pengertian organisasi dari berbagai pendapat adalah:
a.       James D. Mooney
Organization in the from of eury human association for the attainmen of common purpose” (organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama).

b.      Rolp Currier Davis
Organization is any group of individuals that is working toward some common and under leadership” (organisasi adalah sesuatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah kepemimpinan).
c.       Duright Waldo
Organization is the structure of authoritative and habitual personal inter relation in an administrative system” (organisasi adalah struktur hubungan-hubungan di antara orang-orang berdasarkan wewenang dan bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi).
Dengan mempelajari definisi-definisi di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu definisi, yaitu organisasi adalah suatu wadah atau setiap bentuk perserikatan kerjasama manusia (di dalamnya ada struktur organisasi, pembagian tugas, hak, dan tanggung jawab) untuk mencapai tujuan bersama.
Dari pengertian organisasi di atas, maka dapat ditentukan beberapa unsur yang mana dengan unsur-unsur tersebut suatu organisasi akan terbentuk, unsur-unsur itu antara lain:[3]
a.       Sekelompok orang, di mana dari orang-orang tersebut ada yang bertindak sebagai pemimpin dan bawahannya.
b.      Kerjasama dengan orang yang berserikat. Dengan adanya kerja sama antara orang-orang yang berserikat tersebut, maka tentu ada pula pembagian tugas (wewenang), tanggung jawab, hak dan kewajiban, struktur organisasi, aturan-aturan azas atau prinsip yang mengatur kerja sama tersebut.
c.       Tujuan bersama hendak dicapai. Tujuan ini merupakan kesepakatan dari orang-orang yang berserikat tersebut yang akhirnya dikenal dengan istilah tujuan organisasi.

Adapun unsur organisasi modern meliputi:[4]
a.       Bentuk atau konfigurasi, yaitu berbentuk bagian atau skema. Bentuk organisasi, misalnya jalur atau lini, staf, fungsional, dan organisasi dewan atau panitia,
b.      Struktur atau kerangka, yaitu bentuk pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab,
c.       Jabatan-jabatan, yaitu formasi-formasi jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan persyaratan yang ditentukan,
d.      Prinsip-prinsip dan aturan permainan. Prinsip-prinsip ini penting, disebabkan perlunya konsekuensi dari masing-masing individu sebagai anggota dalam tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan kegiatan organisasi.
Organisasi dapat dikatakan sebagai bentuk yang statis dan dinamis. Statis dalam pengertian bahwa organisasi merupakan wadah untuk menampung semua kegiatan dalam rangka mencapai tujuan. Dinamis berarti bahwa organisasi adalah bentuk dari aktivitas seluruh komponen yang terlibat secara bersama-sama dalam gerak langkah yang berirama, kompak, dan solid.[5]

3.      Pengertian Budaya Organisasi
Keberadaan budaya di dalam organisasi atau disebut budaya organisasi tidak bisa dilihat oleh mata, tapi bisa dirasakan. Budaya organisasi itu bisa dirasakan keberadaannya melalui perilaku anggota karyawan di dalam organisasi itu sendiri. Kebudayaan tersebut memberikan pola, cara-cara berfikir, merasa menanggapi dan menuntun para anggota dalam organisasi. Oleh karena itu, budaya organisasi akan berpengaruh juga terhadap efektif atau tidaknya suatu organisasi.[6]
Beberapa definisi budaya organisasi yang diungkapkan oleh para ahli sebagai berikut:
a.       Stephen P. Robbins
Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama.
b.      F.E. Kast dan J.E. Rosenzweig
Budaya organisasi adalah seperangkat nilai, kepercayaan dan pemahaman yang penting dan sama-sama dimiliki oleh para anggotanya. Budaya organisasi menyatakan nilai-nilai atau ide-ide dan kepercayaan bahwa yang sama-sama dianut oleh para anggota itu seperti terwujud dalam alat-alat simbolis seperti mitos, upacara, cerita, legenda, dan bahasa khusus.
Dari pengertian budaya dan organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi budaya organisasi di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah sistem nilai, norma atau aturan, falsafah, kepercayaan, dan sikap (perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta pola manajemen organisasi.
Edgar H.Schein dalam kutipan Sulistiyorini mangungkapkan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa tujuan yaitu:[7]
1.      Observed behavioral regularites atau suatu keteraturan perilaku yang tampak, yaitu suatu keteraturan perilaku yang biasanya terjadi pada saat orang mengadakan interaksi, misalnya bahasa-bahasa yang digunakan kebiasaan yang dilakukan.
2.      The norms atau norma-norma, yaitu norma-norma yang berlaku dalam kelompok kerja atau organisasi.
3.      The dominan values espoused atau nilai-nilai dominan yang dianut, yaitu nilai-nilai dominan yang dianut oleh organisasi.
4.      The filosophy atau falsafah, yaitu falsafah yang ditetapkan dan dianut atau dilaksanakan oleh organisasi yang bisa mengarahkan kebijakan-kebijakan organisasi dalam mencapai tujuannya.
5.      The rules atau aturan-aturan, yaitu aturan-aturan main yang ada di dalam organisasi dalam menghadapi hal-hal tertentu.
6.      The feeling or dimate atau perasaan atau iklim (suasana), yaitu iklim atau keadaan (suasana) dalam organisasi yang terasa dan dapat dilihat dari lay out fisik maupun cara-cara atau suasana anggota organisasi dalam berinteraksi dengan pelanggan / orang luar.

B.     Pentingnya Budaya Bagi Kehidupan Organisasi
Setelah mengkategorikan budaya organisasi yang sedang dikembangkan dan diinternalisasikan maka perlu untuk mengetahui pentingnya budaya organisasi:
1.      Budaya dalam suatu organisasi tentu akan melakukan beberapa fungsi.
2.      Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
3.      Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
4.      Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
5.      Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.

Budaya dalam kehidupan adalah memperekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan dan guru. Akhirnya budaya dapat berfungsi sebagai mekanisme membuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku warga madrasah yang ada. Fungsi yang terakhir inilah yang sangat menarik perhatian kita.[8]
Dengan demikian maka jelaslah bahwa peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan nampaknya makin penting dalam dasawarsa terakhir ini.
Dalam budaya yang dilakukan adalah seolah-olah bahwa menerima tawaran kerja karena mendapatkan kecocokan individu organisasi. Kemudian dengan kecocokannya itu pekerja tersebut senang dan tersenyum karena dalam bertindak terdapat keseragaman yang sekaligus mereka mempertahankan citra karena didukung oleh budaya yang kuat aturan dan keteraturan yang formal.
Di sisi lain kita dapat melihat bahwa budaya dapat menjadi penghalang terhadap suatu perubahan bahkan budaya merupakan suatu beban bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Dalam hal ini maka kita merasa sedih apabila di dalam suatu organisasi tersebut memerlukan hal yang baru dan sangat dinamis sementara di situ terdapat budaya yang berakar dari organisasi itu sementara sudah tidak tepat lagi dalam melakukan perubahan, hal ini pula akan menjadi terhambatnya perubahan serta menjadikan tidak dinamisnya suatu organisasi. Model semacam ini maka akan membebani organisasi tersebut dan menyulitkan terutama dalam menanggapi perubahan-perubahan dalam lingkungan itu.[9]
Dalam merubah perilaku seseorang baik individu maupun kelompok di dalam organisasi, budaya sangat berperan dan sangat efektif dalam pencapaian tujuan organisasi, baik dalam pencapaian prestasi dan lain-lain. Budaya dalam sebuah organisasi terkadang kuat dan adapula yang lemah. Budaya organisasi dikatakan kuat apabila nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan bersama tersebut dipahami serta dianut dengan teguh dan komitmen yang tinggi sehingga rasa kebersamaan dapat tercipta. Dan sebaliknya budaya yang lemah maka tercermin pad kurangnya komitmen anggota karawan terhadp nilai-nilai kepercayaan dan sikap bersama yang bisa dilakukan atau disepakati.
Berkaitan dengan itu, maka F.E.Kast dan J.E.Rosenzweig mengemukakan bahwa kebudayaan yang kuat merupakan perangkat yang kuat untuk menuntun perilaku dan membantu para karyawan untuk mengerjakan pekerjaan dengan sedikit lebih baik terutama dalam dua hal:[10]
1.      Kebudayaan yang kuat adalah sistem aturan-aturan informal yang mengungkapkan bagaimana orang berperilaku dalam sebagian besar waktu mereka
2.      Kebudayaan yang kuat memungkinkan orang merasa lebih baik tentang apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka mungkin bekerja lebih keras.
Dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa budaya yang kuat akan mengantar sebuah organisasi menjadi sukses dan menjadikan inovasi serta tercapainya sasaran-sasaran yang diinginkan oleh organisasi tersebut. Dan lebih-lebih lagi anggota dapat mempertahankan kesetiaan, ketekunan, ulet, dan melaksanakan berbagai macam tugas yang diberikan serta diamanatkan lembaga organisasi.
Hasil lainnya dari suatu budaya yang kuat adalah bahwa budaya itu akan meningkatkan perilaku konsisten. Budaya itu menyampaikan kepada pegawai tentang bagaimana perilaku mereka yang seharusnya. Budaya itu mengemukakan kepada pegawai hal-hal seperti ketidakhadiran yang dapat diterima. Beberapa budaya mendorong pegawai untuk menggunakan hari-hari sakit mereka dan tidak berbuat banyak untuk mengurangi absensi. Tidaklah mengherankan jika organisasi yang demikian mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi daripada organisasi di mana orang tidak masuk kerja apapun alasannya dianggap tidak mempedulikan teman sekerjanya.[11]
Jika dianggap bahwa budaya yang kuat akan meningkatkan konsistensi perilaku, maka logis untuk menyimpulkan bahwa budaya itu dapat menjadi sarana yang kuat untuk mengontrol dan dapat bertindak sebagai sebuah substitusi bagi formalisasi.
Kita tahu bahwa peraturan formalisasi bertindak untuk mengatur perilaku pegawai. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan kemampuan untuk meramal, keteraturan dan konsistensi. Sebuah budaya yang kuat dapat mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Di samping itu, sebuah budaya yang kuat mungkin lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural formal manapun karena budaya mengontrol pikiran dan jiwa, di samping jasmani.
Maka tepatlah jika kita melihat formalisasi dan budaya sebagai dua jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Makin kuat budaya sebuah organisasi, makin kurang pula kebutuhan manajemen untuk mengembangkan peraturan formal untuk memberi pedoman pada perilaku pegawai. Pedoman tersebut akan dihayati oleh para pegawai jika mereka menerima budaya organisasi.
Begitu juga dapat kita pahami makna budaya bagi kehidupan organisasi mempunyai dampak positif. Dalam praktik memang justru sering terjadi yang sebaliknya kinerja organisasi terus mengalami penurunan gara-gara mempunyai budaya yang terlampau kuat, pasalnya budaya yang terlalu kuat bisa menimbulkan egosentrisme seolah-olah merekalah yang terbaik di antara para pesaing.

C.    Terbentuknya Budaya Organisasi
Budaya organisasi tidak muncul begitu saja, akan tetapi bila sudah muncul maka budaya tersebut sukar untuk dipadamkan, artinya akan melekat dalam perilaku organisasi tersebut. Kebiasaan, tradisi, dan cara-cara umum yang dilakukan sebelumnya dan tingkat keberhasilan yang diperoleh dengan usaha keras tersebut, ini membimbing kita ke sumber paling akhir dari budaya suatu oraganisasi.
Seperti dijelaskan terdahulu bahwa budaya organisasi menyangkut masalah nilai yang dipahami dan dianut bersama dalam suatu organisasi. Nilai-nilai tersebut bisa terbentuk melalui beberapa cara antara lain: pimpinan (kepemimpinan), pendiri/pemilik, dan interaksi antar individu dalam organisasi.
Seorang pimpinan dengan gaya dan perilakunya bisa menciptakan nilai-nilai, aturan-aturan kerja yang dipahami dan disepakati bersama serta mampu mempengaruhi atau mengatur perilaku individu-individu di dalamnya, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi sebuah perilaku anutan bersama, yaitu yang disebut dengan budaya organisasi.[12]
Sedangkan pendiri atau pemilik organisasi tentunya mempunyai misi dan tujuan dalam mendirikan organisasi, untuk merealisasikan misi dan tujuan tersebut mereka membuat suatu aturan-aturan yang ditujukan dengan perilaku sehari-hari saat mengelola organisasi yang didirikannya, di mana aturan dan perilaku tersebut akhirnya menjadi suatu nilai yang dianut bersama secara kuat dan mengikat setiap individu yang ada di dalam organisasi. Nilai-nilai yang dibentuk dan dikehendaki oleh pendiri tersebut biasanya diikuti oleh para pengelola dan generasi berikutnya.
Budaya organisasi bisa juga terbentuk karena di dalam organisasi tersebut terjadi interaksi (pergaulan) antara individu (anggota yang mempunyai latar belakang budaya masyarakat yang berbeda). Dalam interaksi para individu akan terjadi saling memahami, mempelajari bahkan saling mempengaruhi perilaku yang dibawa dari budaya masyarakat dari mana mereka berasal.
Di sisi lain bila kita mencermati terbentuknya budaya organisasi pendiri suatu organisasi secara tradisional mempunyai dampak utama pada budaya organisasi tersebut. Mereka dalam suatu budaya organisasi mempunyai suatu visi (penglihatan). Mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu mereka tidak dikehendaki oleh kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya menjadi ciri organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota organisasi.[13]
Secara kronologis pembentukan budaya organisasi dimulai sejak pembentuan organisasi itu sendiri. Ketika para pendiri organisasi memiliki gagasan untuk membentuk organisasi, pada saat itu pula embrio budaya organisasi ditanamkan. Realisasinya adalah ketika organisasi itu benar-benar telah berdiri. Proses pembentukan budaya organisasi melalui alur sebagai berikut:[14]
1.      Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai-nilai, persepektif ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada para anggota.
2.      Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah pokok organisasi.
3.      Secara personal, masing-masing anggota memiliki peluang untuk menciptakan budaya baru melalui pengembangan budaya yang ada agar nilai-nilai dasar organisasi lebih bisa beradaptasi dengan perubahan.
Apabila budaya sudah terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak untuk mempertahankannya dengan memberikan kepada karyawan seperangkat pengalaman yang serupa seperti adanya sumber daya manusia yang memperkuat budaya organisasi tersebut, seperti mempertahankan suatu budaya seperti praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi.
a)      Seleksi mempunyai tujuan eksplisit yaitu mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Proses seleksi memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi itu, mereka dapat mengundurkan diri dari pencalonannya. Dengan demikian, proses seleksi tersebut mempertahankan budaya organisasi dengan menyaring individu yang mungkin akan menyerang atau mengacaukan nilai-nilai intinya.
b)      Manajemen puncak. Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya organisasi, bagaimana mereka berperilaku, apakah pengambilan resiko diperlukan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh manajer kepada bawahan mereka, dan lain-lain. Para pegawai memperhatikan perilaku manajemen, “seperti si A pada saat itu ditegur, padahal pekerjaannya baik, hanya karena ia sebelumnya tidak diminta untuk melakukannya, atau si B dipecat karena ia di depan umum tidak setuju dengan pandangan perusahaan. Kejadian-kejadian tersebut kemudian dalam kurun waktu tertentu menetapkan norma-norma yang kemudian meresap ke bawah melalui organisasi dan memberitahukan apakah pengambilan resiko itu diinginkan atau tidak, berapa banyak kebebasan yang harus diberikan para manajer kepada para bawahannya, busana yang bagaimana yang cocok, tindakan apa yang akan memberi hasil, dalam hubungannya dengan kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lainnya, dan sebagainya.
c)      Sosialisasi. Proses penyesuaian sangat perlu dilakukan organisasi itu dalam merekrut dan seleksi. Karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi. Oleh karena itu, maka organisasi bermaksud membantu karyawan untuk menyesuaikan diri dengan budayanya.[15]

Kesuksesan adalah merupakan nilai budaya organisasi yang diharapkan menuju ke arah visi, misi organisasi tersebut. Maka dalam hal ini sangat diperlukan sarana atau media untuk menyampaikan kepada kesuksesan tersebut. Sarana yang dimaksud adalah adanya cerita, ritual, simbol-simbol material, dan bahasa seperti jargon-jargon atau memakai kalimat-kalimat yang mencampur adukkan bahasa.

D.    Elemen Budaya Organisasi
Secara umum terdapat dua elemen pokok dari budaya organisasi. Yakni elemen idealistik dan elemen behavioral. Elemen idealistik adalah elemen budaya organisasi yang berupa ideologi yang dianut oleh anggota organisasi yang tidak mudah berubah. Bersifat elusive (terselubung) dan tidak tampak (hidden). Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi memiliki ideologi. Namun tidak seluruh organisasi menyatakan ideologinya secara terbuka. Bagi sebuah organisasi baru ideologi ini biasanya sejalan dari ideologi pendiri, karena pembentukan dari organisasi merupakan upaya untuk mewujudkan falsafah, nilai bersama yang diyakini oleh para pendiri. Dalam perkembangannya kemudian ideologi para pendiri organisasi ini diikuti dan dipertahankan serta dikembangkan oleh para pengikut dan anggota organisasi.[16]
Sedangkan elemen budaya behavioral adalah elemen yang nampak, kasat mata, mewujud dalam pola sikap dan perilaku para anggota organisasi, dalam simbol-simbol yang dipergunakan oleh organisasi dan menjadi kekhasan atau ciri khas organisasi dibandingkan dengan yang lain.[17]
Bagi kalangan luar organisasi elemen behavioral inilah yang mudah untuk diamati, sebagai bentuk representasi dari organisasi. Bentuk nyata dari elemen ini misalnya dapat diamati dari kebiasaan, perilaku anggota organisasi, dalam praktek manajemen organisasi, simbol organisasi, jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, cara bertindak yang mudah dipahami oleh orang luar organisasi.
Dua elemen organisasi terkait erat satu sama lain. Karena yang satu merupakan inti dan yang lain merupakan perwujudannya. Collin dan Porras menggambarkan hubungan dua elemen organisasi ini dengan meminjam filosofi Cina “Yin-Yang”. Elemen idealistik digambarkan sebagai unsur “Yin” bersifat lembut, mengayomi, pasif, tenang, dan lebih berorientasi ke dalam. Dimensi Yin terdiri dari core ideologi, core valeu, core purpose, yang tidak mudah berubah. Sedangkan dimensi behavioristik digambarkan sebagai “Yang” bersifat kompetitif, agresif, kuat, dinamis, dan lebih berorientasi ke luar, lebih mudah untuk mengalami perubahaan.[18]

E.     Dimensi Dan Tipe Budaya Organisasi
Hotstede mengelompokkan budaya organisasi dalam 6 dimensi sebagai berikut :
1.      Process oriented vs. result oriented.
2.      Employee oriented vs. job oriented.
3.      Parochial vs. professional.
4.      Open system vs. close system.
5.      Loose control vs. tight control.
6.      Normative vs. pragmatic.

Sementara Denison mengemukakan 4 dimensi budaya organisasi yang dikaitkan dengan tingkat efektifitas organisasi :[19]
1.      Keterlibatan (involvement) : dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan.

2.      Konsistensi (Consistency) : menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi.
3.      Adaptasi (Adaptability) : kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi.
4.      Misi (Mission) : Dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi.

F.     Strategi Perubahan Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sesuatu yang dinamis. Di antara kondisi lingkungan yang menuntut adanya perubahan budaya organisasi adalah terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan, pembentukan organisasi baru. Jelasnya budaya organisasi akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi pada organisasi itu sendiri.
Strategi perubahan budaya organisasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan:[20]
1.      Pendekatan agresif (agresive approach), adalah perubahan budaya yang menggunakan kekuasaan (struktur), non-kolaboratif, membuat konflik, sifatnya dipaksakan, win-lose, dan menggunakan dekrit.
2.      Pendekatan damai (conciliative approach), dilakukan secara kolaboratif, dopecahkan bersama, win-win, integratif, dan diperkenalkan dulu budaya baru yang akan digunakan untuk mengganti budaya lama.
3.      Pendekatan yang merusak sedikit demi sedikit budaya yang ada (carrosive approach), dilakukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak terencana, politis, koalisi, dan mengandalkan networking.
4.      Pendekatan indoktrinatif (indoktrinative approach), bersifat normatif dengan menggunakan program pelatihan dan melakukan pendidikan ulang terhadap pemahaman budaya baru.

Perubahan budaya organisasi tidak berlangsung begitu saja, akan tetapi melewati beberapa tahapan berikut:[21]
1.      Deformasi, pada tahap ini perubahan belum terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan bahwa perubahan budaya perlu dilakaukan.
2.      Rekonsiliasi, gagasan perubahan yang digulirkan seringkali direspon secara beragam, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang. Dengan kondisi seperti inilah maka kemudian diperlukan proses-proses negoisasi, mediasi untuk terjadinya rekonsiliasi.
3.      Akulturasi, mengkomunikasikan kesepakatan yang telah dicapai pada tahap sebelumnya untuk menciptakan komitmen di antara mereka yang sebelumnya terjadi perbedaan pendapat. Dengan proses ini diharapkan perubahan akan dapat lebih mudah untuk dilakukan.
4.      Enactive, pelaksanaan perubahan budaya secara riil. Pada tahap ini pemikiran, pembahasan, diskusi, dan perdebatan tentang budaya baru sudah berakhir. Espoused culture berubah menjadi culture in practice.
5.      Formative, pembentukan struktur dan bentuk budaya. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk membentuk, mendesain struktur budaya untuk menciptakan arsitektur budaya baru.
Gagasan perubahan budaya organisasi, meski memang merupakan suatu kebutuhan yang disadari oleh seluruh anggota organisasi, namun dalam kenyataannya tidak semua anggota organisasi dapat menerima secara legowo. Perubahan budaya itu seringkali direspon dengan sikap resisten atau penolakan.


G.    Budaya Organisasi Dalam Lembaga Pendidikan Islam
Kinerja dalam suatu kelembagaan, posisi pimpinan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini tidak terkecuali dalam Lembaga Pendidikan Islam, baik madrasah (dalam arti formal) maupun pesantren (dalam arti non formal). Kepala madrasah atau kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan, dilihat dari status dan cara pengangkatannya tergolong pemimpin murni, formal leader atau status leader. Kedudukannya sebagai status leader dapat meningkat menjadi functional leader atau operational leader, tergantung pada prestasi dan kemampuan di dalam memainkan peranan sebagai pemimpin pendidikan pada sekolah Islam yang dipimpinnya.[22]
Sebagai pimpinan lembaga pendidikan Islam, hendaknya ia mengembangkan sekolah Islam sebagai sekolah pusat kebudayaan dan ketahanan sekolah. Hal ini penting, karena justru sekolah Islam kini harus ikut berkiprah dalam pembangunan bangsa dan negara. Lebih dari itu sekolah Islam harus menjawab tantangan tentang adanya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan masyarakat sekitarnya. Marjin Sjam dalam kutipan Sulistiyorini menyatakan bahwa kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan.
Penampilan sekolah Islam harus berperan kreatif dan aktif untuk mengembangkan kebudayaan yang menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu kepala sekolah Islam harus dapat menciptakan suasana yang Islami, aman, tentram, damai, dan sejahtera agar semua program dapat berjalan dengan lancar.[23]
Kepemimpinan pendidikan Islam, di samping menjelaskan di mana kepemimpinan dan prosesnya berada dan berperan, hendaknya mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri khusus kepemimpinan Islam yang bersifat mendidik, membimbing, dan tidak memaksa atau menekan dalam bentuk apapun.
Sikap-sikap kepemimpinan yang harus tumbuh subur dalam dada seorang muslim adalah satu kesatuan yang kuat antara iman dan amal, antara cita dan realita, yang kemudian mewujudkan satu ketauladanan (uswatun hasanah). Sikap moral yang tumbuh dari satu cita-cita agung dan ditopang oleh kemampuan teknis dan konsepsional harus merupakan satu aset yang terus dipupuk, dikembangkan dan kemudian melahirkan buah. Di samping akhlaknya yang luhur, maka dalam proses kepemimpinannya itu, setiap muslim setidaknya harus mempunyai beberapa kemampuan pokok sebagai penunjang untuk mewujudkan keinginannya tersebut, yaitu 7M:[24]
1.      Mampu fisik dan mental
2.      Mampu untuk merumuskan gagasan
3.      Mampu berkomunikasi
4.      Mampu bernegoisasi
5.      Mampu untuk meyakinkan dan menggerakkan
6.      Mampu mengembangkan sumber daya
7.      Mampu beradaptasi dan mengambil peran
Tujuan kemampuan itu harus mampu mempengaruhi diri sendiri terlebih dahulu. Sikap istiqomah atau disiplin merupakan kata kunci untuk menanam benih-benih keunggulan itu dalam dirinya.


[1] Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: Penerbit eLKAF, 2006), hlm. 177.
[2] Ibid, hlm. 178.
[3] Ibid, hlm. 179.
[4] Wiji Suwarno, Perpustakaan & Buku, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 14.
[5] Ibid.
[6] Sulistiyorini, Manajemen . . . , hlm. 180.
[7] Ibid, hlm. 181.
[8] Ibid, hlm. 182.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm 183.
[11] Stephen P. Robbins, (Alih Bahasa: Jusuf Udaya), Teori Organisasi (Struktur, Desain, dan Aplikasi), (Jakarta: Penerbit Arcan, 1994), hlm. 485.
[12] Sulistiyorini, Manajemen . . . , hlm. 184.
[13] Ibid, hlm. 185.
[14] Fathul Mujib, Diktat Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Tulungagung, 2008, hlm. 102.
[15] Stephen P. Robbins, Teori . . ., hlm. 487.
[16] Fathul Mujib, Manajemen. . ., hlm. 104.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 105.
[20] Ibid, hlm. 108.
[21] Ibid, hlm. 109.
[22] Sulistiyorini, Manajemen . . ., hlm. 186.
[23] Ibid, hlm. 187.
[24] Ibid.

1 komentar:

  1. Tidak dipungkiri kalau Indonesia jadi negara dgn bermacam macam suku & kekayaan adat juga budayanya sejak dahulu. Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia patut berbangga dan terus mencintai tanah air tercinta ini. Dan ingat satu hal "Bangsa Yang Besar Itu Adalah Bangsa Yang Menghargai Budayanya". Majulah Indonesiaku dengan beragam suku bangsamu.

    cara mengobati vertigo | pengobatan kanker serviks | obat gula darah tinggi | obat nyeri otot dan sendi

    BalasHapus

Like Me :)

Budaya Organisasi Lembaga Pendidikan Islam


A.    Pengertian Budaya Organisasi
1.      Pengertian Budaya
Edward B.Tylor dalam kutipan Sulistiyorini mengatakan, budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[1]
Dari rumusan Tylor tentang budaya tersebut, dapat diambil pengertian yang lebih jelas mengenai hakekat kebudayaan. Maka ada tiga hakekat kebudayaan yaitu: adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat, adanya proses pemanusiaan, dan di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.

2.      Pengertian Organisasi
Istilah organisasi dalam bahasa Inggrisnya “Organization” yang berarti hal yang mengatur, dan kata kerjanya “organizing” berasal dari bahasa latin “organizare” yang mengatur atau menyusun.[2]
Adapun pengertian organisasi dari berbagai pendapat adalah:
a.       James D. Mooney
Organization in the from of eury human association for the attainmen of common purpose” (organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama).

b.      Rolp Currier Davis
Organization is any group of individuals that is working toward some common and under leadership” (organisasi adalah sesuatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah kepemimpinan).
c.       Duright Waldo
Organization is the structure of authoritative and habitual personal inter relation in an administrative system” (organisasi adalah struktur hubungan-hubungan di antara orang-orang berdasarkan wewenang dan bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi).
Dengan mempelajari definisi-definisi di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu definisi, yaitu organisasi adalah suatu wadah atau setiap bentuk perserikatan kerjasama manusia (di dalamnya ada struktur organisasi, pembagian tugas, hak, dan tanggung jawab) untuk mencapai tujuan bersama.
Dari pengertian organisasi di atas, maka dapat ditentukan beberapa unsur yang mana dengan unsur-unsur tersebut suatu organisasi akan terbentuk, unsur-unsur itu antara lain:[3]
a.       Sekelompok orang, di mana dari orang-orang tersebut ada yang bertindak sebagai pemimpin dan bawahannya.
b.      Kerjasama dengan orang yang berserikat. Dengan adanya kerja sama antara orang-orang yang berserikat tersebut, maka tentu ada pula pembagian tugas (wewenang), tanggung jawab, hak dan kewajiban, struktur organisasi, aturan-aturan azas atau prinsip yang mengatur kerja sama tersebut.
c.       Tujuan bersama hendak dicapai. Tujuan ini merupakan kesepakatan dari orang-orang yang berserikat tersebut yang akhirnya dikenal dengan istilah tujuan organisasi.

Adapun unsur organisasi modern meliputi:[4]
a.       Bentuk atau konfigurasi, yaitu berbentuk bagian atau skema. Bentuk organisasi, misalnya jalur atau lini, staf, fungsional, dan organisasi dewan atau panitia,
b.      Struktur atau kerangka, yaitu bentuk pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab,
c.       Jabatan-jabatan, yaitu formasi-formasi jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan persyaratan yang ditentukan,
d.      Prinsip-prinsip dan aturan permainan. Prinsip-prinsip ini penting, disebabkan perlunya konsekuensi dari masing-masing individu sebagai anggota dalam tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan kegiatan organisasi.
Organisasi dapat dikatakan sebagai bentuk yang statis dan dinamis. Statis dalam pengertian bahwa organisasi merupakan wadah untuk menampung semua kegiatan dalam rangka mencapai tujuan. Dinamis berarti bahwa organisasi adalah bentuk dari aktivitas seluruh komponen yang terlibat secara bersama-sama dalam gerak langkah yang berirama, kompak, dan solid.[5]

3.      Pengertian Budaya Organisasi
Keberadaan budaya di dalam organisasi atau disebut budaya organisasi tidak bisa dilihat oleh mata, tapi bisa dirasakan. Budaya organisasi itu bisa dirasakan keberadaannya melalui perilaku anggota karyawan di dalam organisasi itu sendiri. Kebudayaan tersebut memberikan pola, cara-cara berfikir, merasa menanggapi dan menuntun para anggota dalam organisasi. Oleh karena itu, budaya organisasi akan berpengaruh juga terhadap efektif atau tidaknya suatu organisasi.[6]
Beberapa definisi budaya organisasi yang diungkapkan oleh para ahli sebagai berikut:
a.       Stephen P. Robbins
Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama.
b.      F.E. Kast dan J.E. Rosenzweig
Budaya organisasi adalah seperangkat nilai, kepercayaan dan pemahaman yang penting dan sama-sama dimiliki oleh para anggotanya. Budaya organisasi menyatakan nilai-nilai atau ide-ide dan kepercayaan bahwa yang sama-sama dianut oleh para anggota itu seperti terwujud dalam alat-alat simbolis seperti mitos, upacara, cerita, legenda, dan bahasa khusus.
Dari pengertian budaya dan organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi budaya organisasi di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah sistem nilai, norma atau aturan, falsafah, kepercayaan, dan sikap (perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta pola manajemen organisasi.
Edgar H.Schein dalam kutipan Sulistiyorini mangungkapkan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa tujuan yaitu:[7]
1.      Observed behavioral regularites atau suatu keteraturan perilaku yang tampak, yaitu suatu keteraturan perilaku yang biasanya terjadi pada saat orang mengadakan interaksi, misalnya bahasa-bahasa yang digunakan kebiasaan yang dilakukan.
2.      The norms atau norma-norma, yaitu norma-norma yang berlaku dalam kelompok kerja atau organisasi.
3.      The dominan values espoused atau nilai-nilai dominan yang dianut, yaitu nilai-nilai dominan yang dianut oleh organisasi.
4.      The filosophy atau falsafah, yaitu falsafah yang ditetapkan dan dianut atau dilaksanakan oleh organisasi yang bisa mengarahkan kebijakan-kebijakan organisasi dalam mencapai tujuannya.
5.      The rules atau aturan-aturan, yaitu aturan-aturan main yang ada di dalam organisasi dalam menghadapi hal-hal tertentu.
6.      The feeling or dimate atau perasaan atau iklim (suasana), yaitu iklim atau keadaan (suasana) dalam organisasi yang terasa dan dapat dilihat dari lay out fisik maupun cara-cara atau suasana anggota organisasi dalam berinteraksi dengan pelanggan / orang luar.

B.     Pentingnya Budaya Bagi Kehidupan Organisasi
Setelah mengkategorikan budaya organisasi yang sedang dikembangkan dan diinternalisasikan maka perlu untuk mengetahui pentingnya budaya organisasi:
1.      Budaya dalam suatu organisasi tentu akan melakukan beberapa fungsi.
2.      Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
3.      Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
4.      Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
5.      Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.

Budaya dalam kehidupan adalah memperekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan dan guru. Akhirnya budaya dapat berfungsi sebagai mekanisme membuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku warga madrasah yang ada. Fungsi yang terakhir inilah yang sangat menarik perhatian kita.[8]
Dengan demikian maka jelaslah bahwa peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan nampaknya makin penting dalam dasawarsa terakhir ini.
Dalam budaya yang dilakukan adalah seolah-olah bahwa menerima tawaran kerja karena mendapatkan kecocokan individu organisasi. Kemudian dengan kecocokannya itu pekerja tersebut senang dan tersenyum karena dalam bertindak terdapat keseragaman yang sekaligus mereka mempertahankan citra karena didukung oleh budaya yang kuat aturan dan keteraturan yang formal.
Di sisi lain kita dapat melihat bahwa budaya dapat menjadi penghalang terhadap suatu perubahan bahkan budaya merupakan suatu beban bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Dalam hal ini maka kita merasa sedih apabila di dalam suatu organisasi tersebut memerlukan hal yang baru dan sangat dinamis sementara di situ terdapat budaya yang berakar dari organisasi itu sementara sudah tidak tepat lagi dalam melakukan perubahan, hal ini pula akan menjadi terhambatnya perubahan serta menjadikan tidak dinamisnya suatu organisasi. Model semacam ini maka akan membebani organisasi tersebut dan menyulitkan terutama dalam menanggapi perubahan-perubahan dalam lingkungan itu.[9]
Dalam merubah perilaku seseorang baik individu maupun kelompok di dalam organisasi, budaya sangat berperan dan sangat efektif dalam pencapaian tujuan organisasi, baik dalam pencapaian prestasi dan lain-lain. Budaya dalam sebuah organisasi terkadang kuat dan adapula yang lemah. Budaya organisasi dikatakan kuat apabila nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan bersama tersebut dipahami serta dianut dengan teguh dan komitmen yang tinggi sehingga rasa kebersamaan dapat tercipta. Dan sebaliknya budaya yang lemah maka tercermin pad kurangnya komitmen anggota karawan terhadp nilai-nilai kepercayaan dan sikap bersama yang bisa dilakukan atau disepakati.
Berkaitan dengan itu, maka F.E.Kast dan J.E.Rosenzweig mengemukakan bahwa kebudayaan yang kuat merupakan perangkat yang kuat untuk menuntun perilaku dan membantu para karyawan untuk mengerjakan pekerjaan dengan sedikit lebih baik terutama dalam dua hal:[10]
1.      Kebudayaan yang kuat adalah sistem aturan-aturan informal yang mengungkapkan bagaimana orang berperilaku dalam sebagian besar waktu mereka
2.      Kebudayaan yang kuat memungkinkan orang merasa lebih baik tentang apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka mungkin bekerja lebih keras.
Dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa budaya yang kuat akan mengantar sebuah organisasi menjadi sukses dan menjadikan inovasi serta tercapainya sasaran-sasaran yang diinginkan oleh organisasi tersebut. Dan lebih-lebih lagi anggota dapat mempertahankan kesetiaan, ketekunan, ulet, dan melaksanakan berbagai macam tugas yang diberikan serta diamanatkan lembaga organisasi.
Hasil lainnya dari suatu budaya yang kuat adalah bahwa budaya itu akan meningkatkan perilaku konsisten. Budaya itu menyampaikan kepada pegawai tentang bagaimana perilaku mereka yang seharusnya. Budaya itu mengemukakan kepada pegawai hal-hal seperti ketidakhadiran yang dapat diterima. Beberapa budaya mendorong pegawai untuk menggunakan hari-hari sakit mereka dan tidak berbuat banyak untuk mengurangi absensi. Tidaklah mengherankan jika organisasi yang demikian mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi daripada organisasi di mana orang tidak masuk kerja apapun alasannya dianggap tidak mempedulikan teman sekerjanya.[11]
Jika dianggap bahwa budaya yang kuat akan meningkatkan konsistensi perilaku, maka logis untuk menyimpulkan bahwa budaya itu dapat menjadi sarana yang kuat untuk mengontrol dan dapat bertindak sebagai sebuah substitusi bagi formalisasi.
Kita tahu bahwa peraturan formalisasi bertindak untuk mengatur perilaku pegawai. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan kemampuan untuk meramal, keteraturan dan konsistensi. Sebuah budaya yang kuat dapat mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Di samping itu, sebuah budaya yang kuat mungkin lebih berpotensi dibandingkan kontrol struktural formal manapun karena budaya mengontrol pikiran dan jiwa, di samping jasmani.
Maka tepatlah jika kita melihat formalisasi dan budaya sebagai dua jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Makin kuat budaya sebuah organisasi, makin kurang pula kebutuhan manajemen untuk mengembangkan peraturan formal untuk memberi pedoman pada perilaku pegawai. Pedoman tersebut akan dihayati oleh para pegawai jika mereka menerima budaya organisasi.
Begitu juga dapat kita pahami makna budaya bagi kehidupan organisasi mempunyai dampak positif. Dalam praktik memang justru sering terjadi yang sebaliknya kinerja organisasi terus mengalami penurunan gara-gara mempunyai budaya yang terlampau kuat, pasalnya budaya yang terlalu kuat bisa menimbulkan egosentrisme seolah-olah merekalah yang terbaik di antara para pesaing.

C.    Terbentuknya Budaya Organisasi
Budaya organisasi tidak muncul begitu saja, akan tetapi bila sudah muncul maka budaya tersebut sukar untuk dipadamkan, artinya akan melekat dalam perilaku organisasi tersebut. Kebiasaan, tradisi, dan cara-cara umum yang dilakukan sebelumnya dan tingkat keberhasilan yang diperoleh dengan usaha keras tersebut, ini membimbing kita ke sumber paling akhir dari budaya suatu oraganisasi.
Seperti dijelaskan terdahulu bahwa budaya organisasi menyangkut masalah nilai yang dipahami dan dianut bersama dalam suatu organisasi. Nilai-nilai tersebut bisa terbentuk melalui beberapa cara antara lain: pimpinan (kepemimpinan), pendiri/pemilik, dan interaksi antar individu dalam organisasi.
Seorang pimpinan dengan gaya dan perilakunya bisa menciptakan nilai-nilai, aturan-aturan kerja yang dipahami dan disepakati bersama serta mampu mempengaruhi atau mengatur perilaku individu-individu di dalamnya, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi sebuah perilaku anutan bersama, yaitu yang disebut dengan budaya organisasi.[12]
Sedangkan pendiri atau pemilik organisasi tentunya mempunyai misi dan tujuan dalam mendirikan organisasi, untuk merealisasikan misi dan tujuan tersebut mereka membuat suatu aturan-aturan yang ditujukan dengan perilaku sehari-hari saat mengelola organisasi yang didirikannya, di mana aturan dan perilaku tersebut akhirnya menjadi suatu nilai yang dianut bersama secara kuat dan mengikat setiap individu yang ada di dalam organisasi. Nilai-nilai yang dibentuk dan dikehendaki oleh pendiri tersebut biasanya diikuti oleh para pengelola dan generasi berikutnya.
Budaya organisasi bisa juga terbentuk karena di dalam organisasi tersebut terjadi interaksi (pergaulan) antara individu (anggota yang mempunyai latar belakang budaya masyarakat yang berbeda). Dalam interaksi para individu akan terjadi saling memahami, mempelajari bahkan saling mempengaruhi perilaku yang dibawa dari budaya masyarakat dari mana mereka berasal.
Di sisi lain bila kita mencermati terbentuknya budaya organisasi pendiri suatu organisasi secara tradisional mempunyai dampak utama pada budaya organisasi tersebut. Mereka dalam suatu budaya organisasi mempunyai suatu visi (penglihatan). Mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu mereka tidak dikehendaki oleh kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya menjadi ciri organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota organisasi.[13]
Secara kronologis pembentukan budaya organisasi dimulai sejak pembentuan organisasi itu sendiri. Ketika para pendiri organisasi memiliki gagasan untuk membentuk organisasi, pada saat itu pula embrio budaya organisasi ditanamkan. Realisasinya adalah ketika organisasi itu benar-benar telah berdiri. Proses pembentukan budaya organisasi melalui alur sebagai berikut:[14]
1.      Para pendiri dan pimpinan lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai-nilai, persepektif ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada para anggota.
2.      Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah pokok organisasi.
3.      Secara personal, masing-masing anggota memiliki peluang untuk menciptakan budaya baru melalui pengembangan budaya yang ada agar nilai-nilai dasar organisasi lebih bisa beradaptasi dengan perubahan.
Apabila budaya sudah terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak untuk mempertahankannya dengan memberikan kepada karyawan seperangkat pengalaman yang serupa seperti adanya sumber daya manusia yang memperkuat budaya organisasi tersebut, seperti mempertahankan suatu budaya seperti praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi.
a)      Seleksi mempunyai tujuan eksplisit yaitu mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Proses seleksi memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi itu, mereka dapat mengundurkan diri dari pencalonannya. Dengan demikian, proses seleksi tersebut mempertahankan budaya organisasi dengan menyaring individu yang mungkin akan menyerang atau mengacaukan nilai-nilai intinya.
b)      Manajemen puncak. Tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya organisasi, bagaimana mereka berperilaku, apakah pengambilan resiko diperlukan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh manajer kepada bawahan mereka, dan lain-lain. Para pegawai memperhatikan perilaku manajemen, “seperti si A pada saat itu ditegur, padahal pekerjaannya baik, hanya karena ia sebelumnya tidak diminta untuk melakukannya, atau si B dipecat karena ia di depan umum tidak setuju dengan pandangan perusahaan. Kejadian-kejadian tersebut kemudian dalam kurun waktu tertentu menetapkan norma-norma yang kemudian meresap ke bawah melalui organisasi dan memberitahukan apakah pengambilan resiko itu diinginkan atau tidak, berapa banyak kebebasan yang harus diberikan para manajer kepada para bawahannya, busana yang bagaimana yang cocok, tindakan apa yang akan memberi hasil, dalam hubungannya dengan kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lainnya, dan sebagainya.
c)      Sosialisasi. Proses penyesuaian sangat perlu dilakukan organisasi itu dalam merekrut dan seleksi. Karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi. Oleh karena itu, maka organisasi bermaksud membantu karyawan untuk menyesuaikan diri dengan budayanya.[15]

Kesuksesan adalah merupakan nilai budaya organisasi yang diharapkan menuju ke arah visi, misi organisasi tersebut. Maka dalam hal ini sangat diperlukan sarana atau media untuk menyampaikan kepada kesuksesan tersebut. Sarana yang dimaksud adalah adanya cerita, ritual, simbol-simbol material, dan bahasa seperti jargon-jargon atau memakai kalimat-kalimat yang mencampur adukkan bahasa.

D.    Elemen Budaya Organisasi
Secara umum terdapat dua elemen pokok dari budaya organisasi. Yakni elemen idealistik dan elemen behavioral. Elemen idealistik adalah elemen budaya organisasi yang berupa ideologi yang dianut oleh anggota organisasi yang tidak mudah berubah. Bersifat elusive (terselubung) dan tidak tampak (hidden). Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi memiliki ideologi. Namun tidak seluruh organisasi menyatakan ideologinya secara terbuka. Bagi sebuah organisasi baru ideologi ini biasanya sejalan dari ideologi pendiri, karena pembentukan dari organisasi merupakan upaya untuk mewujudkan falsafah, nilai bersama yang diyakini oleh para pendiri. Dalam perkembangannya kemudian ideologi para pendiri organisasi ini diikuti dan dipertahankan serta dikembangkan oleh para pengikut dan anggota organisasi.[16]
Sedangkan elemen budaya behavioral adalah elemen yang nampak, kasat mata, mewujud dalam pola sikap dan perilaku para anggota organisasi, dalam simbol-simbol yang dipergunakan oleh organisasi dan menjadi kekhasan atau ciri khas organisasi dibandingkan dengan yang lain.[17]
Bagi kalangan luar organisasi elemen behavioral inilah yang mudah untuk diamati, sebagai bentuk representasi dari organisasi. Bentuk nyata dari elemen ini misalnya dapat diamati dari kebiasaan, perilaku anggota organisasi, dalam praktek manajemen organisasi, simbol organisasi, jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, cara bertindak yang mudah dipahami oleh orang luar organisasi.
Dua elemen organisasi terkait erat satu sama lain. Karena yang satu merupakan inti dan yang lain merupakan perwujudannya. Collin dan Porras menggambarkan hubungan dua elemen organisasi ini dengan meminjam filosofi Cina “Yin-Yang”. Elemen idealistik digambarkan sebagai unsur “Yin” bersifat lembut, mengayomi, pasif, tenang, dan lebih berorientasi ke dalam. Dimensi Yin terdiri dari core ideologi, core valeu, core purpose, yang tidak mudah berubah. Sedangkan dimensi behavioristik digambarkan sebagai “Yang” bersifat kompetitif, agresif, kuat, dinamis, dan lebih berorientasi ke luar, lebih mudah untuk mengalami perubahaan.[18]

E.     Dimensi Dan Tipe Budaya Organisasi
Hotstede mengelompokkan budaya organisasi dalam 6 dimensi sebagai berikut :
1.      Process oriented vs. result oriented.
2.      Employee oriented vs. job oriented.
3.      Parochial vs. professional.
4.      Open system vs. close system.
5.      Loose control vs. tight control.
6.      Normative vs. pragmatic.

Sementara Denison mengemukakan 4 dimensi budaya organisasi yang dikaitkan dengan tingkat efektifitas organisasi :[19]
1.      Keterlibatan (involvement) : dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi anggota dalam proses pengambilan keputusan.

2.      Konsistensi (Consistency) : menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi.
3.      Adaptasi (Adaptability) : kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi.
4.      Misi (Mission) : Dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi.

F.     Strategi Perubahan Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sesuatu yang dinamis. Di antara kondisi lingkungan yang menuntut adanya perubahan budaya organisasi adalah terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan, pembentukan organisasi baru. Jelasnya budaya organisasi akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi pada organisasi itu sendiri.
Strategi perubahan budaya organisasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan:[20]
1.      Pendekatan agresif (agresive approach), adalah perubahan budaya yang menggunakan kekuasaan (struktur), non-kolaboratif, membuat konflik, sifatnya dipaksakan, win-lose, dan menggunakan dekrit.
2.      Pendekatan damai (conciliative approach), dilakukan secara kolaboratif, dopecahkan bersama, win-win, integratif, dan diperkenalkan dulu budaya baru yang akan digunakan untuk mengganti budaya lama.
3.      Pendekatan yang merusak sedikit demi sedikit budaya yang ada (carrosive approach), dilakukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak terencana, politis, koalisi, dan mengandalkan networking.
4.      Pendekatan indoktrinatif (indoktrinative approach), bersifat normatif dengan menggunakan program pelatihan dan melakukan pendidikan ulang terhadap pemahaman budaya baru.

Perubahan budaya organisasi tidak berlangsung begitu saja, akan tetapi melewati beberapa tahapan berikut:[21]
1.      Deformasi, pada tahap ini perubahan belum terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan bahwa perubahan budaya perlu dilakaukan.
2.      Rekonsiliasi, gagasan perubahan yang digulirkan seringkali direspon secara beragam, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang. Dengan kondisi seperti inilah maka kemudian diperlukan proses-proses negoisasi, mediasi untuk terjadinya rekonsiliasi.
3.      Akulturasi, mengkomunikasikan kesepakatan yang telah dicapai pada tahap sebelumnya untuk menciptakan komitmen di antara mereka yang sebelumnya terjadi perbedaan pendapat. Dengan proses ini diharapkan perubahan akan dapat lebih mudah untuk dilakukan.
4.      Enactive, pelaksanaan perubahan budaya secara riil. Pada tahap ini pemikiran, pembahasan, diskusi, dan perdebatan tentang budaya baru sudah berakhir. Espoused culture berubah menjadi culture in practice.
5.      Formative, pembentukan struktur dan bentuk budaya. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk membentuk, mendesain struktur budaya untuk menciptakan arsitektur budaya baru.
Gagasan perubahan budaya organisasi, meski memang merupakan suatu kebutuhan yang disadari oleh seluruh anggota organisasi, namun dalam kenyataannya tidak semua anggota organisasi dapat menerima secara legowo. Perubahan budaya itu seringkali direspon dengan sikap resisten atau penolakan.


G.    Budaya Organisasi Dalam Lembaga Pendidikan Islam
Kinerja dalam suatu kelembagaan, posisi pimpinan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini tidak terkecuali dalam Lembaga Pendidikan Islam, baik madrasah (dalam arti formal) maupun pesantren (dalam arti non formal). Kepala madrasah atau kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan, dilihat dari status dan cara pengangkatannya tergolong pemimpin murni, formal leader atau status leader. Kedudukannya sebagai status leader dapat meningkat menjadi functional leader atau operational leader, tergantung pada prestasi dan kemampuan di dalam memainkan peranan sebagai pemimpin pendidikan pada sekolah Islam yang dipimpinnya.[22]
Sebagai pimpinan lembaga pendidikan Islam, hendaknya ia mengembangkan sekolah Islam sebagai sekolah pusat kebudayaan dan ketahanan sekolah. Hal ini penting, karena justru sekolah Islam kini harus ikut berkiprah dalam pembangunan bangsa dan negara. Lebih dari itu sekolah Islam harus menjawab tantangan tentang adanya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan masyarakat sekitarnya. Marjin Sjam dalam kutipan Sulistiyorini menyatakan bahwa kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan.
Penampilan sekolah Islam harus berperan kreatif dan aktif untuk mengembangkan kebudayaan yang menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu kepala sekolah Islam harus dapat menciptakan suasana yang Islami, aman, tentram, damai, dan sejahtera agar semua program dapat berjalan dengan lancar.[23]
Kepemimpinan pendidikan Islam, di samping menjelaskan di mana kepemimpinan dan prosesnya berada dan berperan, hendaknya mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri khusus kepemimpinan Islam yang bersifat mendidik, membimbing, dan tidak memaksa atau menekan dalam bentuk apapun.
Sikap-sikap kepemimpinan yang harus tumbuh subur dalam dada seorang muslim adalah satu kesatuan yang kuat antara iman dan amal, antara cita dan realita, yang kemudian mewujudkan satu ketauladanan (uswatun hasanah). Sikap moral yang tumbuh dari satu cita-cita agung dan ditopang oleh kemampuan teknis dan konsepsional harus merupakan satu aset yang terus dipupuk, dikembangkan dan kemudian melahirkan buah. Di samping akhlaknya yang luhur, maka dalam proses kepemimpinannya itu, setiap muslim setidaknya harus mempunyai beberapa kemampuan pokok sebagai penunjang untuk mewujudkan keinginannya tersebut, yaitu 7M:[24]
1.      Mampu fisik dan mental
2.      Mampu untuk merumuskan gagasan
3.      Mampu berkomunikasi
4.      Mampu bernegoisasi
5.      Mampu untuk meyakinkan dan menggerakkan
6.      Mampu mengembangkan sumber daya
7.      Mampu beradaptasi dan mengambil peran
Tujuan kemampuan itu harus mampu mempengaruhi diri sendiri terlebih dahulu. Sikap istiqomah atau disiplin merupakan kata kunci untuk menanam benih-benih keunggulan itu dalam dirinya.


[1] Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: Penerbit eLKAF, 2006), hlm. 177.
[2] Ibid, hlm. 178.
[3] Ibid, hlm. 179.
[4] Wiji Suwarno, Perpustakaan & Buku, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 14.
[5] Ibid.
[6] Sulistiyorini, Manajemen . . . , hlm. 180.
[7] Ibid, hlm. 181.
[8] Ibid, hlm. 182.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm 183.
[11] Stephen P. Robbins, (Alih Bahasa: Jusuf Udaya), Teori Organisasi (Struktur, Desain, dan Aplikasi), (Jakarta: Penerbit Arcan, 1994), hlm. 485.
[12] Sulistiyorini, Manajemen . . . , hlm. 184.
[13] Ibid, hlm. 185.
[14] Fathul Mujib, Diktat Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Tulungagung, 2008, hlm. 102.
[15] Stephen P. Robbins, Teori . . ., hlm. 487.
[16] Fathul Mujib, Manajemen. . ., hlm. 104.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 105.
[20] Ibid, hlm. 108.
[21] Ibid, hlm. 109.
[22] Sulistiyorini, Manajemen . . ., hlm. 186.
[23] Ibid, hlm. 187.
[24] Ibid.

1 komentar:

  1. Tidak dipungkiri kalau Indonesia jadi negara dgn bermacam macam suku & kekayaan adat juga budayanya sejak dahulu. Maka dari itu, kita sebagai warga Indonesia patut berbangga dan terus mencintai tanah air tercinta ini. Dan ingat satu hal "Bangsa Yang Besar Itu Adalah Bangsa Yang Menghargai Budayanya". Majulah Indonesiaku dengan beragam suku bangsamu.

    cara mengobati vertigo | pengobatan kanker serviks | obat gula darah tinggi | obat nyeri otot dan sendi

    BalasHapus

Blog Design by W-Blog