Kamis, 20 Juli 2017

REVIEW NOVEL HUJAN – TERE LIYE



Judul : HUJAN
Penulis: Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke-10, Februari 2016

Novel Hujan - Tere Liye

“Ratusan orang pernah di ruangan ini. Meminta agar semua kenangan mereka dihapus. Tetapi sesungguhnya, bukan melupakan yang menjadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan” (h. 308)


Hidup tidak selalu tentang kebahagiaan, semua orang pun telah memahami hal ini. Masalah, musibah, perpisahan, dan hal yang menyakitkan lainnya adalah pelengkap hidup di alam fana ini. Pernak-pernik kehidupan tersebut akan kita temui silih berganti. Saat kebahagiaan yang kita dapatkan, pasti kita akan menyimpannya dalam memori kenangan yang indah demi mengingatnya di masa mendatang. Namun, saat kesedihan yang kita temui, bisa dipastikan kita ingin segera menghapus tentang ingatan itu, walau kadang ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini akan menjadi pilihan kita, apakah kita akan memilih melupakan atau mengenang semua hal menyakitkan.
Jika ditanya hal tersebut, tentu kebanyakan akan memilih untuk melupakan semua hal yang menyakitkan ketika mengingatnya. Inilah yang dilakukan oleh Lail (tokoh di dalam novel), seorang cewek yang bekerja sebagai perawat serta tergabung dalam organisasi relawan. Dia ingin menghapus kenangannya bersama Esok - seorang ilmuwan yang berjasa menciptakan banyak teknologi – karena dirinya tidak mau terus-terusan memikirkan orang yang belum tentu akan memikirkannya. Begitulah pikirnya.
Esok adalah laki-laki dua tahun lebih tua dari Lail. Dia adalah orang yang telah menyelamatkan Lail di kereta bawah tanah saat bencana gunung meletus terjadi. Selepas bencana itu, Esok lah orang yang selalu menemani Lail, di mana ada Esok pasti ada Lail, layaknya adik kakak.  Bagi Lail, kedatangan Esok adalah sebagai pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada akibat bencana itu. Kebersamaan mereka pada akhirnya juga melahirkan perasaan yang lebih dari sekedar adik kakak. 
Novel bersetting tahun 2040 an itu memaparkan banyak teknologi super canggih, di mana tenaga mesin lebih banyak dimanfaatkan dari pada tenaga manusia. Saking canggihnya teknologi pada saat itu, semua permasalahan manusia bisa diatasinya. Termasuk perkara menghilangkan ingatan yang dibenci, orang yang menginginkannya bisa langsung menemui fasilitator yang memiliki alat memodifikasi ingatan, pasien tinggal memasuki ruangannya, dan mesin akan bekerja sesuai yang diinginkan lalu pasien keluar dengan ingatan yang sudah di-refresh.
Tidak hanya itu, penulis kenamaan itu juga menghadirkan teknologi yang jika kita membayangkan akan geleng-geleng kepala. Mobil terbang, kamera selfie yang berterbangan, kursi roda yang lincah berjalan meski pada tangga sekalipun, dan mesin pembuatan benda-benda seperti almari atau makanan dengan hanya mengaturnya di mesin dan mesin akan mencetaknya layaknya mencetak dokumen. Canggih sekali bukan?
Pertanyaannya, benarkah teknologi seperti itu akan muncul?? Ah, alangkah indahnya jika itu benar-benar nyata pada 20 tahun yang akan datang.
Indah?
Eh iya ada hal lain yang super serius. Kemajuan teknologi itu juga dibarengi dengan bencana yang menyebabkan kepunahan manusia. Dan ini menjadi nasihat tersirat bagi para pembaca supaya tidak rakus ketika memanfaatkan alam ini. Ada banyak bencana yang menimpa manusia pada tahun itu, gunung meletus skala 7, gempa bumi, turunnya salju yang dibarengi dengan menipisnya bahan pangan, dan terakhir adalah langit tak berawan yang mengakibatkan tidak akan turun hujan.
Canggihnya teknologi memang mampu mengatasi permasalahan manusia, namun itu hanya sebentar dan akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih berisiko hingga berakhir punahnya manusia itu sendiri. Ini dikarenakan teknologi semutakhir apapun itu tidak akan dapat mengatasi kerakusan manusia yang tak pernah habis hajatnya.
Itulah yang bisa diambil dari novel bercover hijau itu. Hujan dipilih sebagai judul buku karena hujan adalah hal yang disukai oleh Lail, setiap kejadian bersama Esok dilaluinya ketika hujan turun. Sayangnya, langit biru tanpa awan tidak akan meneteskan airnya lagi ke bumi. Lalu bagaimana Lail akan menghadapi situasi tersebut? Temukan awabannya di novel HUJAN :)

“Kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya”

“Semua akan kalah oleh waktu. Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri” (h.298)


2 komentar:

Like Me :)

REVIEW NOVEL HUJAN – TERE LIYE



Judul : HUJAN
Penulis: Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke-10, Februari 2016

Novel Hujan - Tere Liye

“Ratusan orang pernah di ruangan ini. Meminta agar semua kenangan mereka dihapus. Tetapi sesungguhnya, bukan melupakan yang menjadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan” (h. 308)


Hidup tidak selalu tentang kebahagiaan, semua orang pun telah memahami hal ini. Masalah, musibah, perpisahan, dan hal yang menyakitkan lainnya adalah pelengkap hidup di alam fana ini. Pernak-pernik kehidupan tersebut akan kita temui silih berganti. Saat kebahagiaan yang kita dapatkan, pasti kita akan menyimpannya dalam memori kenangan yang indah demi mengingatnya di masa mendatang. Namun, saat kesedihan yang kita temui, bisa dipastikan kita ingin segera menghapus tentang ingatan itu, walau kadang ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini akan menjadi pilihan kita, apakah kita akan memilih melupakan atau mengenang semua hal menyakitkan.
Jika ditanya hal tersebut, tentu kebanyakan akan memilih untuk melupakan semua hal yang menyakitkan ketika mengingatnya. Inilah yang dilakukan oleh Lail (tokoh di dalam novel), seorang cewek yang bekerja sebagai perawat serta tergabung dalam organisasi relawan. Dia ingin menghapus kenangannya bersama Esok - seorang ilmuwan yang berjasa menciptakan banyak teknologi – karena dirinya tidak mau terus-terusan memikirkan orang yang belum tentu akan memikirkannya. Begitulah pikirnya.
Esok adalah laki-laki dua tahun lebih tua dari Lail. Dia adalah orang yang telah menyelamatkan Lail di kereta bawah tanah saat bencana gunung meletus terjadi. Selepas bencana itu, Esok lah orang yang selalu menemani Lail, di mana ada Esok pasti ada Lail, layaknya adik kakak.  Bagi Lail, kedatangan Esok adalah sebagai pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada akibat bencana itu. Kebersamaan mereka pada akhirnya juga melahirkan perasaan yang lebih dari sekedar adik kakak. 
Novel bersetting tahun 2040 an itu memaparkan banyak teknologi super canggih, di mana tenaga mesin lebih banyak dimanfaatkan dari pada tenaga manusia. Saking canggihnya teknologi pada saat itu, semua permasalahan manusia bisa diatasinya. Termasuk perkara menghilangkan ingatan yang dibenci, orang yang menginginkannya bisa langsung menemui fasilitator yang memiliki alat memodifikasi ingatan, pasien tinggal memasuki ruangannya, dan mesin akan bekerja sesuai yang diinginkan lalu pasien keluar dengan ingatan yang sudah di-refresh.
Tidak hanya itu, penulis kenamaan itu juga menghadirkan teknologi yang jika kita membayangkan akan geleng-geleng kepala. Mobil terbang, kamera selfie yang berterbangan, kursi roda yang lincah berjalan meski pada tangga sekalipun, dan mesin pembuatan benda-benda seperti almari atau makanan dengan hanya mengaturnya di mesin dan mesin akan mencetaknya layaknya mencetak dokumen. Canggih sekali bukan?
Pertanyaannya, benarkah teknologi seperti itu akan muncul?? Ah, alangkah indahnya jika itu benar-benar nyata pada 20 tahun yang akan datang.
Indah?
Eh iya ada hal lain yang super serius. Kemajuan teknologi itu juga dibarengi dengan bencana yang menyebabkan kepunahan manusia. Dan ini menjadi nasihat tersirat bagi para pembaca supaya tidak rakus ketika memanfaatkan alam ini. Ada banyak bencana yang menimpa manusia pada tahun itu, gunung meletus skala 7, gempa bumi, turunnya salju yang dibarengi dengan menipisnya bahan pangan, dan terakhir adalah langit tak berawan yang mengakibatkan tidak akan turun hujan.
Canggihnya teknologi memang mampu mengatasi permasalahan manusia, namun itu hanya sebentar dan akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih berisiko hingga berakhir punahnya manusia itu sendiri. Ini dikarenakan teknologi semutakhir apapun itu tidak akan dapat mengatasi kerakusan manusia yang tak pernah habis hajatnya.
Itulah yang bisa diambil dari novel bercover hijau itu. Hujan dipilih sebagai judul buku karena hujan adalah hal yang disukai oleh Lail, setiap kejadian bersama Esok dilaluinya ketika hujan turun. Sayangnya, langit biru tanpa awan tidak akan meneteskan airnya lagi ke bumi. Lalu bagaimana Lail akan menghadapi situasi tersebut? Temukan awabannya di novel HUJAN :)

“Kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya”

“Semua akan kalah oleh waktu. Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri” (h.298)


2 komentar:

Blog Design by W-Blog